Di tengah hangatnya udara Bali, sebuah diskusi penting digelar di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Rabu lalu. Topiknya serius: bagaimana menempatkan Risalah MPR sebagai rujukan konstitusional yang kredibel. Wachid Nugroho dari Setjen MPR RI yang hadir sebagai pembicara, langsung menekankan poin itu. Baginya, risalah bukan sekadar arsip usang. Ia berfungsi melengkapi bahkan memperkaya proses penafsiran konstitusi kita.
“UUD 1945 itu bukan norma statis,” tegas Wachid.
Ia menjelaskan, konstitusi adalah "supreme law of the land" yang memuat filosofi dasar bernegara, arsitektur kekuasaan, hingga jaminan HAM. Lebih dari itu, ia punya dimensi futuristik. “Sebagai "living constitution", ia harus ditafsirkan secara dinamis sesuai perkembangan zaman,” ujarnya dalam keterangan tertulis Jumat (5/12/2025).
Namun begitu, dinamika penafsiran itu tak boleh lepas dari akar sejarah. Wachid menggarisbawahi, penelusuran "original intent" atau maksud asli para perumus konstitusi itu krusial. Terutama saat Mahkamah Konstitusi menghadapi persoalan yang tak sepenuhnya tertampung dalam teks UUD.
“Teks hukum sering punya keterbatasan,” katanya.
“Nah, di sinilah peran Risalah MPR. Ia bisa menghadirkan konteks logis dan historis dari lahirnya sebuah ketentuan. Jadi, bukan cuma soal apa yang tertulis, tapi juga "mengapa" ia ditulis seperti itu.”
Artikel Terkait
Restorative Justice untuk Penadah Motor Curian di Bogor, Ini Pertimbangan Jaksa
Di Balik Gemerlap Jakarta, Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Naik 10 Persen
Deltras FC dan KemenUMKM Garap Ekonomi Warga di Sekitar Stadion Gelora Delta
Pria Tua di Bogor Tewas Terserempet KRL Saat Menyeberang Rel