Pembahasan RKUHAP: Perubahan Signifikan Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Komisi III DPR bersama pemerintah terus mempercepat pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang membawa berbagai perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Rapat Panitia Kerja (Panja) di Kompleks Parlemen Senayan menghasilkan sejumlah kesepakatan penting menyangkut penyitaan, penahanan, dan kewenangan Mahkamah Agung.
Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas Mental
DPR dan pemerintah mencapai kesepakatan bersejarah dalam RKUHAP mengenai pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental. Berdasarkan Pasal 137A yang telah disetujui, pelaku dengan disabilitas mental dan intelektual berat tidak akan dijatuhi hukuman pidana melainkan direhabilitasi.
Ketentuan ini menegaskan bahwa penetapan rehabilitasi oleh hakim dalam sidang terbuka bukan merupakan putusan pemidanaan. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej menekankan bahwa langkah ini mengadopsi ketentuan dalam KUHP tentang pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas mental.
Pengawasan CCTV Wajib dalam Pemeriksaan Tersangka
Pembahasan RKUHAP menghasilkan kesepakatan penting mengenai kewajiban pengawasan kamera CCTV selama proses pemeriksaan tersangka. Pasal 31 yang telah disepakati mengatur bahwa rekaman CCTV dapat digunakan baik untuk kepentingan penyidikan maupun pembelaan tersangka.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menjelaskan bahwa mekanisme ini memberikan akses berimbang bagi kedua belah pihak, sekaligus mencegah dugaan kekerasan selama proses pemeriksaan. Rekaman CCTV dapat dimanfaatkan advokat dalam pembelaan di pengadilan jika terdapat indikasi pelanggaran prosedur.
Mekanisme Restorative Justice dalam RKUHAP
Pembahasan restorative justice menjadi salah satu topik hangat dalam rapat Panja RKUHAP. Pemerintah menegaskan pentingnya penetapan pengadilan untuk setiap proses restorative justice guna menjamin kepastian hukum dan pencatatan yang resmi.
Wamenkum HAM Eddy Hiariej memaparkan dua kriteria utama penerapan restorative justice: persetujuan dari korban dan keterbatasan pada tindak pidana dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun untuk pelaku pertama. Proses kesepakatan wajib diselesaikan dalam waktu 7 hari, dan jika gagal, penyidik harus melanjutkan proses hukum.
Artikel Terkait
Doomscrolling: Dampak, Bahaya, dan 4 Cara Mengatasinya untuk Gen Z
Kelas Jurnalistik Surau Academy: Jadikan Media Digital Sarana Dakwah yang Efektif
Kisah Baha dan Alaa: Pahlawan Kemanusiaan yang Menyalurkan Makanan di Gaza
Gus Elham Minta Maaf atas Video Cium Anak Perempuan, Ini Respons Kemenag