Emotional Eating pada Mahasiswa: Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasinya
Masa perkuliahan seringkali menjadi periode yang penuh tekanan bagi mahasiswa. Beban akademik seperti tugas menumpuk, ujian, dan penyusunan skripsi dapat memicu kelelahan dan kecemasan. Ditambah lagi dengan tekanan internal untuk berprestasi, harapan besar dari keluarga, serta persaingan dengan teman sebaya, yang semakin memperparah tingkat stres. Bagi mahasiswa rantau, tantangan ini berlipat ganda karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru jauh dari dukungan keluarga. Salah satu dampak stres akademik yang sering muncul adalah emotional eating.
Apa Itu Emotional Eating dan Kaitannya dengan Stres Akademik?
Emotional eating adalah kecenderungan untuk makan sebagai respons terhadap emosi negatif, seperti stres, cemas, atau sedih, bukan karena lapar fisik. Fenomena ini sangat umum di kalangan mahasiswa yang mengalami tekanan emosional. Saat stres melanda, banyak mahasiswa yang mencari pelarian dengan mengonsumsi makanan tinggi lemak, gula, dan kalori untuk menenangkan perasaan.
Penelitian membuktikan adanya hubungan erat antara tingkat stres dan emotional eating. Mahasiswa dengan stres tinggi cenderung memiliki kecenderungan emotional eating yang juga tinggi. Studi juga menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami emotional eating dibandingkan laki-laki, karena cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi.
Penyebab Emotional Eating: Dari Hormon Stres hingga Pola Pikir
Penyebab emotional eating sangat kompleks dan melibatkan proses biologis dan psikologis. Saat stres, tubuh mengaktifkan sistem HPA axis (Hypothalamic-Pituitary–Adrenal axis) yang melepaskan hormon kortisol. Awalnya, hormon ini menekan nafsu makan, tetapi jika stres berlangsung lama, kadar kortisol yang tinggi justru memicu keinginan untuk makan lebih banyak, terutama makanan manis dan berlemak.
Kortisol juga mempengaruhi bagian otak yang mengatur emosi, seperti amigdala dan korteks prefrontal. Stres membuat amigdala (pengolah emosi negatif) lebih aktif, sementara korteks prefrontal (pengendali impuls) melemah. Akibatnya, kontrol diri terhadap dorongan makan menjadi berkurang.
Artikel Terkait
Mengerikan! Pria di Lubuklinggau Tewas Gantung Diri Usai Minum Racun, Diduga Akibat Jerat Utang Judi Online
Rahasia PR yang Tak Terungkap: 15 Tahun Pengalaman Nyata Hadapi Krisis & Viral di Industri Kreatif
Main Padel Saat Hamil: Aman atau Bahaya? Panduan Lengkap untuk Ibu Aktif
Haji Mandiri Resmi Dilegalkan! Ini Aturan Baru yang Wajib Diketahui