Berhenti Berharap Terlalu Banyak pada Orang Lain: Kunci Hidup Lebih Tenang
Di sebuah kafe kecil di Tebet, Jakarta Selatan, Rendra menatap layar ponselnya yang masih kosong dari notifikasi. Percakapan terakhirnya dengan seorang rekan kerja masih terbuka. Sudah seminggu berlalu sejak ia membantu menyusun proposal besar untuk proyek perusahaan, namun namanya tak muncul dalam daftar tim yang diumumkan manajemen. "Katanya teamwork," ujarnya lirih, meneguk kopi yang mulai dingin.
Rendra adalah salah satu contoh orang yang terjebak dalam jebakan ekspektasi sosial: berharap terlalu banyak dari manusia. Baik dalam hubungan profesional, pertemanan, maupun percintaan, kita sering kali memasang harapan bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, perhatian akan dibalas perhatian, dan perjuangan akan dihargai setimpal. Namun, kenyataannya, hidup tidak selalu berjalan sesuai logika tersebut.
Masalahnya Bukan pada Berharap, Tapi pada Siapa yang Kita Harapkan
"Masalahnya bukan pada berharap," jelas psikolog klinis Ratna Indriani. "Yang membuat orang sakit hati adalah berharap terlalu banyak kepada manusia yang perannya tidak sebesar itu dalam hidup kita."
Ratna menyebut fenomena ini sebagai "distorsi makna relasi". Di era digital, di mana perhatian menjadi mata uang sosial, banyak orang mengira kedekatan berarti keterikatan emosional. "Kita sering salah menafsirkan sinyal. Seseorang yang sering berinteraksi dengan kita belum tentu menganggap kita penting," tambahnya.
Dampak Negatif Ekspektasi Sosial yang Tidak Terpenuhi
Harapan memang memberikan arah, namun juga bisa berubah menjadi beban psikologis yang berat. Di media sosial, hal ini terlihat dari kebiasaan menunggu balasan chat yang tak kunjung datang, mengharapkan like dari orang yang dikagumi, atau menanti ucapan ulang tahun dari teman yang sudah lama tidak berkomunikasi.
Dalam skala yang lebih besar, harapan yang tidak terpenuhi dapat menjadi sumber luka batin yang dalam. Sebuah penelitian dari University of California (2022) mengungkap bahwa ekspektasi sosial yang gagal terpenuhi berkontribusi terhadap meningkatnya kecemasan dan menurunnya rasa percaya diri. Di lingkungan kerja, karyawan yang merasa "dilupakan" setelah memberikan kontribusi besar rentan mengalami gejala burnout hingga depresi ringan.
"Manusia cenderung menilai dirinya berdasarkan respons orang lain," jelas Fajar Hidayat, seorang sosiolog. "Ketika penghargaan itu tidak datang, muncullah perasaan tidak berharga. Padahal, kontribusinya mungkin tetap penting, hanya saja dunia tidak selalu melihat ke arah yang benar."
Kenyataan Pahit: Kita Hanya Figuran dalam Hidup Orang Lain
Kebenaran yang sering sulit diterima adalah: kita tidak selalu menjadi pemeran utama dalam kehidupan orang lain. Dalam panggung sosial, kadang kita hanya menjadi figuran yang muncul sesaat untuk melengkapi cerita mereka.
"Ini bukan tentang pesimisme," tegas Ratna, "tapi tentang menyadari batas peran kita." Dalam psikologi relasi, terdapat konsep role consciousness - kesadaran akan peran kita dalam setiap hubungan. "Dengan memahami kapan harus tampil dan kapan mundur, kita akan lebih tenang menjalani hubungan tanpa terbebani ekspektasi berlebihan."
Contoh sederhana dapat dilihat dalam dinamika pertemanan. Ada teman yang datang saat membutuhkan bantuan, namun menghilang ketika kita yang membutuhkan pertolongan. Ada rekan kerja yang ramah selama rapat, namun tidak menyapa di koridor. "Jika kamu memahami bahwa kamu hanya bagian dari momen tertentu, kamu tidak akan mudah kecewa," papar Ratna.
Fajar menambahkan bahwa masyarakat modern sering menempatkan diri terlalu sentral dalam narasi hidup orang lain. "Padahal, setiap individu sibuk dengan naskah hidupnya masing-masing."
Artikel Terkait
Istri Lulus PPPK Langsung Diceraikan Suami, Alasannya Bikin Miris!
Pacar Difitnah Mantan, Pria di Padang Pariaman Nekat Minum Racun Saat Live TikTok!
Benarkah PM Kanada Ancam Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung?
Habib Umar Bongkar Pesan Rahasia di Hotel Intercontinental, Isinya Bikin Merinding!