Ustadz Abu Datangi Jokowi: 'Ketulusan Ulama dan Liciknya Geng Solo'
KABAR pertemuan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dengan Presiden Joko Widodo di kediaman Jokowi di Solo sontak menyita atensi publik.
Sosok yang selama ini identik dengan militansi dakwah dan keluar-masuk penjara, mendatangi bekas penguasa zalim.
Jokowi bahkan mencium tangan ABB, seolah ingin menunjukkan kedekatan dengan ulama sepuh itu.
ABB menjelaskan, dia hanya menunaikan kewajiban menasihati pemimpin agar kembali pada hukum Allah.
“Orang Islam itu menasihati, rakyat, pemimpin, bahkan orang kafir. Saya hanya menyampaikan agar negeri ini kembali diatur dengan hukum Islam,” tegasnya.
Pesan sederhana, namun sarat makna.
Masalahnya, pertemuan itu tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia muncul di tengah rumor Jokowi ingin merapat ke kubu penentang ijazahnya.
Bisik-bisik informasi yang beredar terbatas, ada orang yang dianggap merepresentasikan gerakan ini semula akan diajak bertemu. Namun dia menolak karena khawatir dicap pengkhianat.
Maka, pertemuan ustaz Abu dengan Jokowi bisa saja dijadikan “bridging”—sebuah legitimasi simbolik.
“Kalau ustaz ABB saja bertemu, kenapa saya tidak?” begitu kira-kira logika yang akan dipakai.
Di sinilah letak persoalannya. Sebab, dalam politik simbol lebih dahsyat ketimbang substansi.
Sekalipun ABB menegaskan hanya memberi nasihat, framing yang dibangun Jokowi dan Geng Solo-nya adalah sebaliknya: Jokowi masih dihormati, bahkan oleh ulama garis keras sekalipun.
Ini bisa dipakai menutup cacat legitimasi, sekaligus meredam oposisi.
ABB tentu tulus. Tapi politik tidak mengenal ketulusan. Ia hanya mengenal narasi, persepsi, dan kepentingan.
Maka tak heran, aktivis Islam seperti Ahmad Khozinudin segera memberi tadzkirah atawa nasihat.
Jangan biarkan pertemuan itu dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Sebab, rakyat tahu siapa Jokowi.
Dia adalah presiden dengan segudang catatan kelam: otoriter, bengis, doyan mengkriminalisasi ulama dan aktivis.
Jokowi bersama Sri Mulyani membuat utang menggunung, pajak mencekik.
Finalis koruptor dunia versi OCCRP ini juga mengobral SDA kepada oligarki asing dan aseng, menggelar karpet merah bagi oligarki merampasi tanah rakyat.
Khozinudin menyebut, jika berkas kejahatan Jokowi dicetak, maka tumpukannya bisa mencapai rembulan.
Dengan rekam jejak sangat kelam tadi, momentum ABB mendatangi rumah Jokowi rawan ditafsirkan sebagai “rekonsiliasi” antara Jokowi dan kubu Islam garis keras.
Padahal, rekam jejak rezim jelas: kriminalisasi ulama, pembubaran ormas Islam, stigma radikal, hingga peminggiran ajaran Islam dari ruang publik.
Tiba-tiba, Jokowi bisa berdiri bersama ulama senior. Seakan-akan dia bekas pemimpin yang ramah agama. Ini manipulasi politik kelas tinggi.
Justru di titik ini umat harus waspada. Islam mengajarkan nasihat kepada penguasa, benar. Tapi juga melarang memberi celah bagi kebatilan untuk berlindung di balik nama ulama.
Apalagi, Jokowi sedang berada di ujung tanduk. Manuver politiknya kini lebih banyak bertujuan menyelamatkan warisan, melanggengkan pengaruh, bahkan mungkin menutupi dosa-dosa besar.
Dalam konteks ini, setiap gestur politik akan dimanfaatkan habis-habisan. Kunjungan tokoh besar seperti ustaz Abu tentu akan dikapitalisasi secara maksimal secara licik.
Karena itu, umat harus memandang pertemuan ini dengan kacamata jernih. Hormati ketulusan ABB.
Tapi jangan terjebak pada narasi Geng Solo dan gerombolannya. Ulama boleh, bahkan harus, memberi nasihat.
Namun umat tidak boleh abai pada realitas: rezim Jokowi tetaplah rezim zalim yang anti-Islam, menindas rakyat, dan tunduk pada oligarki.
Tadzkirah yang disampaikan Ahmad Khozinudin menjadi pengingat penting: jangan sampai ulama, dengan niat suci sekalipun, justru dijadikan tameng penguasa.
Sejarah mencatat, rezim zalim selalu pandai memanfaatkan simbol agama untuk meredam kritik. Dan umat Islam terlalu sering menjadi korban politik simbol ini.
Kini saatnya umat lebih cerdas. Pertemuan ustadz Abu dan Jokowi tidak boleh dimaknai sebagai rekonsiliasi.
Sebaliknya, harus dilihat sebagai bukti bahwa eks tukang kayu asal Solo itu haus legitimasi.
Maka tugas umat adalah melanjutkan perlawanan intelektual, politik, dan moral. Jangan biarkan simbol-simbol suci dipakai menutupi kezaliman.
Umat harus berdiri tegak di jalan kebenaran. Jika ulama memberi nasihat, umat wajib memastikan nasihat itu tidak dikooptasi rezim.
Sebab, nasihat sejati adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bukan memberi oksigen kepada bekas penguasa zalim yang sekarat. ***
Artikel Terkait
Update Gempa Sumenep: Ratusan Rumah Rusak hingga 1.306 Jiwa Mengungsi
MDIS Buka Suara soal Ijazah Gibran, PSI: Hentikan Polemik Jika Niatnya Cari Kebenaran!
Edo Kondologit Mundur dari PDIP dan Anggota DPR Papua Barat Daya, Ada Apa?
SK Menkum Tetapkan Mardiono Ditolak 4 Elite Senior PPP