Panggung Opera Biru Jokowi: “SAYA SEHAT”
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Jokowi, Mantan Presiden yang katanya merakyat itu, akhir-akhir ini sedang mengalami cobaan bukan main.
Bukan karena utang negara yang makin membubung, bukan pula karena harga beras yang makin bikin rakyat makan dengan setengah hati, tetapi karena… gatal.
Ya, gatal. Alergi kulit, katanya. Penyakit yang konon sederhana tapi menyiksa.
Ia bilang sudah hampir tiga bulan gatal tak kunjung reda.
Lalu kita lihat, alih-alih rebahan di kamar sambil mengompres kulit dengan salep dari RS Kepresidenan, ia malah bertamasya ke pantai.
Bukan sendiri, tentu. Ada cucu. Ada ATV. Ada pasir, ada angin. Tapi yang lebih penting: ada kamera.
Tiba-tiba netizen di Instagram-nya ramai.
“Gemes lihat cucunya, lucu banget naik ATV!” teriak akun-akun penuh emoji. Tapi ada juga yang nyinyir: “Presiden lagi gatal-gatal, kok sempat-sempatnya main ATV?”
Ah, tenang. Ini bukan sekadar main ATV. Ini adalah panggung. Sebuah opera bisu yang sangat simbolik.
okowi sedang mencoba menyampaikan sesuatu. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap kuat, tetap ada, tetap ‘bekerja’, meski kulitnya perih.
Seorang pemimpin yang tetap tegar, walau harus menggaruk diam-diam di balik baju safari.
Sementara itu, di sudut lain layar, tampak anak tangganya—yang baru belajar membaca arah angin kekuasaan—berlari tergopoh-gopoh menyusul.
Kita bisa lihat napasnya belum seirama dengan ombak, langkahnya belum sekuat ATV yang melaju.
Tapi di situlah letak dramanya: seorang ayah yang sedang ‘mewariskan’ bukan sekadar cinta, tapi juga panggung kekuasaan.
Bukan lewat pidato heroik atau doktrin partai, tapi lewat ATV dan cucu kecil yang menjadi simbol estafet yang lembut.
Lalu publik bertanya: apa maksud semua ini? Apakah ini pertunjukan kekeluargaan, atau justru simbol betapa negara sudah menjadi urusan rumah tangga?
Mahbub Djunaidi mungkin akan mengangkat alis dan tersenyum tipis.
Lalu ia menulis begini: “Di tengah alergi yang gatalnya tak bisa diwakilkan, Jokowi tetap tersenyum.
Bukan karena bahagia, tetapi karena ia sedang melakoni peran seorang kakek, ayah, sekaligus sutradara cerita yang tak pernah rampung: republik.”
Layar ditutup. Sore pun tiba. Dan kita, rakyat jelata ini, tetap menyaksikan: seorang pemimpin yang sedang menggaruk punggungnya sambil tersenyum ke arah kamera. Meski perih, yang penting kelihatan kuat.
Karena di negeri ini, pencitraan adalah bedak terbaik untuk menutupi gatal. ***
Artikel Terkait
UPDATE! Mantan Wakil Panglima TNI Sebut Pemakzulan Gibran Telah Memenuhi 3 Syarat Wajib, Apa Saja?
Kabar Buruk! Investasi Rp1.500 Triliun Batal Masuk RI, Tiga Warisan Jokowi Ini Gagal?
Polri Minta Tambahan Anggaran Rp63,7 Triliun untuk Tahun 2026
Sudirman Said Ungkap Sederet Alasan Kenapa Gibran Harus Dimakzulkan: Gak Berfungsi, Amoral, Nepotisme, Racun Bangsa!