Kalau negara gagal menegakkan keadilan, maka keadilan bisa berubah bentuk: entah lewat unjuk rasa besar-besaran, pembangkangan sipil, atau bahkan kekerasan yang tidak diinginkan.
Sejarah sudah banyak memberi pelajaran. Ketika korupsi merajalela dan negara gagal bersikap tegas, rakyat akhirnya bangkit—dan kadang, bangkitnya tidak pakai kompromi.
Apa yang Bisa Dilakukan Negara?
Negara punya pilihan: tetap lembek atau mulai tegas. Hukuman mati bisa jadi jalan keluar, terutama untuk kasus-kasus korupsi besar yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Tapi tidak cukup di situ.
Harus ada reformasi total. Mulai dari pembenahan lembaga hukum, pengawasan yang ketat, transparansi anggaran, hingga pendidikan antikorupsi yang serius. Bukan sekadar slogan atau lomba menulis di sekolah.
Yang lebih penting lagi: pengadilan dan jaksa harus bebas dari tekanan politik. Jangan sampai jaksa dan hakim cuma jadi “alat” penguasa. Kalau itu masih terjadi, jangan harap hukum mati akan jadi solusi. Yang ada, hukum mati cuma akan jadi alat untuk menyingkirkan lawan politik, bukan memberantas korupsi.
Bagaimana Kalau Negara Membiarkan?
Kalau negara terus diam, rakyat bisa bertindak. Ini bukan ajakan anarkis. Ini pengingat. Di banyak negara, revolusi dimulai karena ketidakadilan dan kemarahan yang dipendam terlalu lama.
Rakyat Indonesia itu sabar. Tapi sabar juga ada batasnya. Kalau sudah tak tahan, mereka bisa bergerak di luar sistem. Bisa lewat mogok bayar pajak, bisa lewat aksi boikot, atau bahkan membuat sistem sosial baru di luar negara.
Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan rakyat. Salahkan negara yang terlalu lama diam, terlalu sering memelihara koruptor, dan terlalu takut untuk bersikap.
Hukum Mati Jawabannya?
Jawaban jujurnya: mungkin iya, mungkin tidak.
Hukum mati bisa jadi solusi untuk membuat efek jera. Tapi kalau sistem hukum tetap korup, maka hukuman itu hanya akan jadi dagelan. Yang dihukum bukan yang paling bersalah, tapi yang paling lemah atau yang tidak punya pelindung.
Jadi, sebelum bicara soal hukuman mati, benahi dulu sistem hukumnya. Bersihkan dulu para penegak hukum dari korupsi. Tegakkan hukum secara adil dan setara. Kalau itu bisa dilakukan, maka hukum mati bisa jadi senjata ampuh.
Tapi kalau tidak? Maka rakyat akan berpikir: lebih baik bertindak sendiri daripada terus ditindas oleh sistem yang busuk.
Pilihan Kita Hari Ini akan Menentukan Masa Depan
Hari ini kita di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada pilihan untuk menegakkan hukum secara tegas, termasuk hukuman mati untuk koruptor kelas kakap. Di sisi lain, ada risiko dibiarkannya korupsi merajalela hingga akhirnya rakyat sendiri yang ambil alih “pengadilan”.
Apakah kita akan terus jadi bangsa yang memaafkan maling uang negara, atau jadi bangsa yang tegas melindungi hak rakyat?
Apakah kita masih percaya bahwa keadilan bisa ditegakkan lewat sistem, atau justru sudah saatnya rakyat bikin sistem baru yang lebih adil?
Jawabannya ada pada kita semua—tapi terutama pada mereka yang sedang berkuasa.
Karena kalau penguasa tak bisa berlaku adil, maka sejarah akan mengulang siklusnya: rakyat bangkit, penguasa tumbang.
OLEH: KHAIRUL EL MALIKY
Artikel Terkait
Geng Solo Masih Berkeliaran? Ini Tantangan Terberat Prabowo di Tahun Pertama!
Prabowo Disebut Tak Semanis Jokowi, Benarkah Popularitasnya Lebih Tulus?
DPR Sindir Babe Haikal: Ancam Legalkan Produk Non-Halal, Kebijakan Ngawur atau Langkah Berani?
BRIN Ungkap Cadangan Air di IKN Cuma 0,5%, Masih Yakin Pindah Ibu Kota?