MISTERI Map Cokelat Jokowi: Ngaku Isi Ijazah Tapi Dilipat-Lipat?

- Sabtu, 03 Mei 2025 | 13:10 WIB
MISTERI Map Cokelat Jokowi: Ngaku Isi Ijazah Tapi Dilipat-Lipat?

Padahal, di negeri ini, ijazah bukan sekadar lembaran kertas. Ia adalah pengakuan atas perjalanan intelektual, legitimasi atas narasi hidup yang tertib dan transparan. 


Maka wajar jika rakyat bertanya: kalau ijazah saja dianggap enteng, bagaimana dengan amanah konstitusi?


Di titik ini, publik tak sekadar mempertanyakan keabsahan selembar dokumen, tapi lebih dalam: integritas dan transparansi seorang pemimpin. 


Dalam politik, persepsi bisa lebih tajam daripada realitas. Dan dalam kasus Jokowi, persepsi bahwa ia menyembunyikan sesuatu sudah telanjur mengakar, dipupuk oleh ketidaktegasan dan diam panjang selama bertahun-tahun.


Alih-alih menampilkan proses yang kredibel dan diverifikasi oleh lembaga akademik yang berwenang, Jokowi memilih jalur emosional dan personal—melaporkan penggugatnya ke polisi sambil membawa map kuning, seolah ingin berkata, “Ini buktinya.” 


Tapi publik yang telanjur jenuh dan sinis justru membaca lain: seorang presiden yang frustrasi oleh keraguan, namun tak ingin menjawabnya dengan cara yang meyakinkan.


Map kertas berwarna kuning itu, yang dalam narasi kekuasaan bisa saja dimaksudkan sebagai penutup cerita, justru menjadi pembuka bab baru: tentang seorang pemimpin yang tak ingin menjelaskan, hanya ingin memukul balik. Dan dalam demokrasi, cara seperti itu tak akan pernah cukup.


Apalagi di negeri ini, kepercayaan publik bukan sesuatu yang otomatis datang bersama jabatan.


Ia harus dirawat, dijaga, dan dibuktikan—bukan dengan selembar map kuning yang datang lima tahun terlambat, melainkan dengan konsistensi, ketulusan, dan kejujuran sejak awal.


Kini, rakyat bisa bertanya lebih tajam: kalau ijazah saja bisa dibawa begitu seadanya, bagaimana dengan dokumen lain yang lebih menentukan masa depan bangsa? Dan kalau kepercayaan saja dianggap remeh, untuk apa kita bicara soal legitimasi?


Map kuning itu telah mencatatkan dirinya dalam sejarah, bukan sebagai bukti, tapi sebagai simbol: bahwa dalam kekuasaan yang gemerlap, transparansi bisa terselip dalam lipatan kertas murahan. ***


Sumber: FusilatNews


Halaman:

Komentar