[ANALISIS] Mengapa Harus Khawatir dengan Revisi UU TNI dan Dwifungsi Militer?
DPR RI dan pemerintah terlihat buru-buru membahas Revisi Undang-undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Bahkan, pada 14-16 Maret kemarin, mereka menyewa hotel mewah Fairmont untuk melakukan konsinyering pembahasan secara tertutup.
Belum diketahui pos anggaran mana yang dipakai untuk membiayai kegiatan tersebut.
Tindakan ngebut itu berujung pada kemarahan publik. Pada Sabtu (15/3) sore jelang malam, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan termasuk pemerhati bidang pertahanan menggeruduk rapat tersebut. Mereka dengan tegas menyatakan penolakan terhadap pembahasan maupun substansi dari revisi UU TNI.
"Bapak ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam. Kami menolak adanya dwifungsi ABRI. Hentikan proses pembahasan RUU TNI!" seru Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus.
Aksi yang dijamin konstitusi itu justru direspons negatif. Kantor KontraS di Kwitang, Jakarta Pusat, didatangi tiga orang tak dikenal (OTK) pada dini hari (16/3) dan di saat bersamaan Andrie Yunus diteror oleh kontak tak dikenal.
Selain itu, laporan polisi yang informasinya dilayangkan oleh salah seorang sekuriti hotel Fairmont memperlihatkan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
Mengapa RUU TNI harus ditolak?
Banyak individu, organisasi dan gabungan organisasi menolak revisi UU TNI karena akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) misalnya, memandang usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana mengatakan DPR dan presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik, bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
"Selain itu, revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI," ujar Arif saat dihubungi, Senin (17/3).
Jika hal itu dibiarkan, Arif mengkhawatirkan masa depan demokrasi menjadi suram dan berpotensi meningkatkan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan.
YLBHI, tutur Arif, memandang RUU TNI tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pemerintahan Prabowo Subianto yang melabrak prinsip supremasi sipil dan konstitusi.
Hal itu setidaknya terlihat dari TNI yang bisa menduduki hingga 15 kementerian/lembaga strategis yang berhubungan dengan transmigrasi, pertanahan, hingga politik yang tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada saat yang bersamaan, mereka juga menempatkan tentara aktif di Bulog serta purnawirawannya mengisi hampir seluruh struktur di Badan Gizi Nasional (BGN).
Arif menuturkan TNI saat ini juga sedang melakukan penambahan komando teritorial sebanyak: 3 di Pulau Sumatera, 5 (4 Kodam 1 Kostrad) di Pulau Jawa, 1 di Pulau Bali, 2 di Pulau Kalimantan, 2 di Pulau Sulawesi, 1 di Pulau Maluku, dan 2 di Pulau Papua.
Menurut Arif, gagasan awal revisi UU TNI merupakan upaya panjang penguatan kembalinya dwifungsi ABRI di mana tentara menjadi aktor politik dan bisnis pasca-reformasi.
"Penambahan komando teritorial adalah inti dari dwifungsi," imbuhnya.
Arif mengatakan masyarakat sipil telah belajar banyak dari sejarah rezim Orde Baru dan sistem komando teritorialnya.
Kata dia, sistem tersebut dipertahankan sebagai basis kekuatan angkatan bersenjata di daerah-daerah yang memungkinkan mereka mengakses sumber-sumber ekonomi di akar rumput (berhadapan dengan rakyat) dan mempertahankan peran sebagai pemain penting dalam politik lokal.
"Ini memungkinkan militer untuk mengakses pendanaan ilegal di luar APBN. Menciptakan negara di dalam negara, dan revisi UU TNI menguatkan upaya tersebut," kata Arif.
Banyak pasal bermasalah
Banyak Pasal bermasalah yang masih tertuang dalam draf RUU TNI. Pertama mengenai usia pensiun yang menambah penumpukan perwira non-job.
Dalam draf revisi Pasal 71, usia pensiun perwira TNI diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun.
Jika revisi disahkan, hal itu akan menambah persoalan yang tidak pernah diselesaikan yakni penumpukan perwira non-job yang nanti dalam praktiknya justru dimobilisasi ke lembaga-lembaga negara hingga perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).
Berdasarkan catatan Ombudsman (2020), terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, 27 orang di antaranya adalah anggota TNI aktif, sementara 13 orang adalah anggota Polri aktif.
Terbaru, Menteri BUMN menunjuk perwira TNI aktif yakni Mayjen Novi Helmy Prasetya menjadi Direktur Utama Bulog.
Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad juga menyoroti perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif yang dapat mengancam supremasi sipil serta menggerus profesionalisme dan independensi TNI.
Banyak Pasal Bermasalah di RUU TNI
Kata dia, draf revisi Pasal 47 bermasalah karena TNI aktif dibolehkan menempati jabatan-jabatan sipil sesuai dengan kebijakan presiden.
Padahal, dalam UU TNI yang saat ini berlaku hanya diatur 10 lembaga saja dan berkaitan dengan urusan pertahanan yang boleh diduduki prajurit.
"Kalau Pasal ini kemudian direvisi, maka habislah kemudian kehidupan sipil kita," kata Husein dilansir dari diskusi 'Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi' yang berlangsung di Kantor YLBHI.
Dalam daftar inventaris masalah yang diperoleh, tidak disebutkan lagi perihal jabatan-jabatan sipil yang bisa dijabat TNI tersebut sesuai disesuaikan dengan kebijakan presiden.
Namun memang ada penambahan jabatan yang bisa dijabat TNI dari 10 jabatan kini jadi 16 jabatan.
Husein lantas mengungkit pengalaman 32 tahun bangsa hidup dalam masa Orde Baru di mana angkatan bersenjata, saat itu ABRI, menjadi kekuatan utama yang membuat masyarakat sipil takut mengkritik pemerintah.
"Bayangkan kalau militer itu duduk dalam jabatan-jabatan pemerintah. Bagaimana mungkin kita bisa berdebat, kita bisa mengkritik kalau mereka berbaju militer. Orang kan kemudian takut dengan ancaman seperti itu," imbuhnya.
Merugikan TNI
Menurut Husein, perluasan jabatan sipil dimaksud justru merugikan TNI karena menarik jauh mereka dari tugas utama sebagai alat pertahanan negara. Ia khawatir profesionalisme TNI terganggu.
"Kalau kemudian fokus dia ditarik menjadi urus MBG [Makan Bergizi Gratis], urus PSN [Proyek Strategis Nasional], urus beras di Bulog, urus apa lagi, Kali Citarum misalnya, urus sawit misalnya, dia akan jadi tidak fokus terhadap tugas utamanya itu adalah untuk berperang," tutur Husein.
Lebih lanjut, perluasan jabatan sipil bagi TNI akan semakin merusak pola dalam organisasi ASN. Diyakini akan timbul kecemburuan sosial ketika revisi mengenai ini disahkan.
"Bayangkan orang bertahun-tahun berkarier di ASN, punya bayangan, 'Oh, nanti saya akan jadi Dirjen, saya akan jadi Sekretaris Kementerian, akan jadi Deputi'. Dia berkarier dengan baik, terus ketika dia sudah waktunya mau jadi Deputi, tiba-tiba masuk jenderal siapa lagi," ungkap Husein.
Sebelum revisi UU TNI, sudah banyak prajurit TNI aktif di jabatan sipil, setidaknya ada 2.569 prajurit berdasarkan informasi dari Lemhannas tahun 2023 silam.
"Siapa yang ngomong? Bukan Imparsial. Yang ngomong TNI sendiri di acara di Lemhannas pada tahun 2023. Kemudian dia mengakui sendiri bahwa ada 2.569 prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil itu di luar dari apa yang diperbolehkan dalam Undang-undang TNI," kata Husein.
Selanjutnya, Husein mempermasalahkan penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Bagi dia, Panglima TNI bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan prajurit.
Mengubah aturan dengan berbagai macam dalih seperti kasihan atas nasib prajurit, tegas dia, bukan solusi tepat mengatasi persoalan tersebut.
"Menurut saya ini adalah dalih daripada keinginan segelintir orang di elite TNI untuk kembali seperti masa Orde Baru di mana TNI bisa berbisnis. Mumpung presidennya sekarang militer, temannya dia, dia pengin revisi Undang-undang itu," ungkap Husein.
Terakhir, Husein menyoroti poin krusial dalam revisi UU TNI yang memuat keinginan untuk memperkuat peradilan militer.
Menurut Husein, jika ketentuan ini disahkan, maka akan memperkuat impunitas.
Ia menyatakan Imparsial dan juga sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya sering memantau proses peradilan militer di mana hukuman yang dijatuhkan jauh dari rasa keadilan. Tak hanya itu, proses persidangan cenderung tertutup.
Ia memberi contoh, tiga prajurit TNI Angkatan Darat (AD) yakni Kapten Saiful Anwar, Serka Alex Ading dan Pratu Moh. Andi Hasan Basri hanya dihukum satu tahun penjara atas kasus pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani.
Ia menegaskan prajurit maupun perwira TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili lewat peradilan sipil bukan militer.
Dalam hal ini ia menekankan prinsip kesetaraan di hadapan hukum atau equality before the law.
"Oleh karena itu, kita mesti tolak revisi Undang-undang ini," seru Husein.
Sementara itu, Arif Maulana dari YLBHI menambahkan poin revisi yang dapat menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang.
Menurut Arif, ketentuan tersebut di dalam revisi justru mengukuhkan kekebalan TNI dalam melakukan operasi militer non-perang tanpa harus melalui mekanisme check and balances oleh lembaga yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yakni DPR dalam pengambilan keputusan politik negara.
Hal ini dilandasi pada Pasal 7 ayat (4) yang mengatur bahwa "pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut cukup dengan peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10".
Hal itu bertentangan dengan Pasal 5 TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI/POLRI yang menegaskan kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas TNI.
"Pengaturan tersebut sangat berbahaya karena menghilangkan peran DPR dan memberikan kekuasaan besar kepada presiden untuk memutuskan tanpa pertimbangan DPR," kata Arif.
Salah satu bentuk operasi militer non-perang adalah penanganan gerakan separatis bersenjata.
Arif mengkhawatirkan pelanggaran HAM berat terjadi sebagaimana peristiwa di Aceh dan Papua.
Mulai dari pengusiran paksa, kelaparan, hingga pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing.
"Sudah seharusnya DPR dan Presiden tidak justru membiarkan bangsa ini jatuh ke lubang yang sama dan segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI tersebut. Terlebih revisi ini dilakukan secara tidak terbuka dengan mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan prinsip partisipasi bermakna," pungkas Arif.
Klaim pastikan supremasi sipil
Sementara itu dalam pernyataan resminya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Hariyanto mengklaim revisi UU TNI ini untuk memperkuat pertahanan, meningkatkan profesionalisme prajurit, serta memastikan supremasi sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya RUU TNI tak ada niat mengebiri supremasi sipil.
"Revisi UU TNI ini menjunjung tinggi supremasi sipil," kata Hariyanto dalam keterangan resminya, Minggu (16/3).
Selain itu mekanisme dan kriteria penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga (K/L) dalam RUU TNI akan diatur dengan ketat.
Dia menjelaskan penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI harus sesuai dengan kebutuhan nasional dan tidak mengganggu prinsip netralitas TNI.
"Penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI akan diatur dengan ketat agar tetap sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan," kata Hariyanto dilansir Antara, Minggu (16/3).
Dia menyebut rumusan perubahan dalam RUU TNI menyangkut perpanjangan batas usia pensiun prajurit juga berdasarkan alasan meningkatnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia.
Menurutnya harapan hidup orang Indonesia yang semakin panjang dan produktif sehingga masih dapat berkontribusi bagi negara. Hal ini juga untuk menjaga keseimbangan regenerasi dalam tubuh TNI.
"Kami melihat bahwa penyesuaian batas usia pensiun dapat menjadi solusi agar prajurit yang masih memiliki kemampuan optimal tetap bisa mengabdi, tanpa menghambat regenerasi kepemimpinan di TNI," ujarnya.
Dia menuturkan RUU TNI bertujuan menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih efektif tanpa tumpang tindih dengan institusi lain dalam menghadapi ancaman militer dan nonmiliter.
Untuk itu, dia menyebut RUU TNI menjadi langkah strategis untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme prajurit.
"Revisi UU TNI adalah kebutuhan strategis agar tugas dan peran TNI lebih terstruktur serta adaptif terhadap tantangan zaman," ucap Hariyanto.
Sumber: CNN
Artikel Terkait
Sudewo Makin Terjepit! 5 Fakta Terbaru Hak Angket Bupati Pati yang Bikin Geger Senayan
Heboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya
Polisi Tangkap Pembunuh Ibu Kandung di Wonogiri
Heboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tayang: Sabtu, 16 Agustus 2025 08:53 WIB Tribun XBaca tanpa iklan Editor: Valentino Verry zoom-inHeboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tribunjatim.com/Isya Anshari A-A+ INGIN DONOR ORGAN TUBUH - Yusa Cahyo Utomo, terdakwa pembunuh satu keluarga, divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (13/8/2025) siang. Yusa mengaku menyesali perbuatannya dan berkeinginan menyumbangkan organ tubuhnya kepada sang keponakan yang masih hidup, sebagai bentuk penebusan kesalahan. WARTAKOTALIVE.COM, KEDIRI - Jika seorang terdakwa dijatuhi vonis mati biasanya tertunduk lesu, ada pula yang menangis. Lain halnya dengan Yusa Cahyo Utomo, terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di Kediri, Jawa Timur. Tak ada penyesalan, bahkan dia sempat tersenyum kepada wartawan yang mewancarainya usai sidang vonis oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025). Dengan penuh percaya diri, Yusa Cahyo Utomo ingin mendonorkan organ tubuhnya usai dijatuhi vonis mati oleh majelis hakim. Baca juga: Alasan Pembunuh Satu Keluarga Tak Habisi Anak Bungsu, Mengaku Kasihan Saat Berusaha Bergerak Tentu ini cukup aneh, namun niat Yusa Cahyo Utomo ini ternyata ada makna yang besar. Donor organ tubuh adalah proses yang dilakukan untuk menyelamatkan atau memperbaiki hidup penerima organ yang mengalami kerusakan atau kegagalan fungsi organ. Biasanya, orang akan secara sukarela menyumbangkan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan. Saya berpesan, nanti di akhir hidup saya, bisa sedikit menebus kesalahan ini (membunuh) dengan menyumbangkan organ saya, ucapnya dilansir TribunJatim.com. Baca juga: Pelaku Pembunuhan Satu Keluarga di Kediri Ternyata Masih Saudara Sendiri, Ini Motfinya Kalau saya diberikan hukuman mati, saya siap menyumbangkan semua organ saya, apapun itu, imbuhnya. Yusa Cahyo Utomo merupakan warga Bangsongan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Kediri. Ia adalah seorang duda cerai dengan satu anak. Yusa merupakan pelaku pembunuhan terhadap satu keluarga di Dusun Gondang Legi, Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, pada Desember 2024. Yusa menghabisi nyawa pasangan suami istri (pasutri) Agus Komarudin (38) dan Kristina (34), beserta anak sulung, CAW (12). Anak bungsu korban, SPY (8), ditemukan selamat dalam kondisi luka serius. Yusa mengaku ia tak tega menghabisi nyawa SPY karena merasa kasihan. Tersangka meninggalkannya dalam kondisi bernapas. Alasannya dia merasa kasihan pada yang paling kecil, ungkap AKP Fauzy Pratama yang kala itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Kediri, masih dari TribunJatim.com. Hubungan Yusa dengan korban Kristina adalah kakak adik. Pelaku merupakan adik kandung korban. Namun, sejak kecil, Yusa diasuh oleh kerabat lainnya di Bangsongan, Kecamatan Kayen. Selama itu, Yusa tak pernah mengunjungi keluarganya yang ada di Pandantoyo, Kecamatan Ngancar. Dikutip dari Kompas.com, motif Yusa menghabisi Kristina dan keluarganya karena masalah utang dan rasa sakit hati. Yusa memiliki utang di sebuah koperasi di Kabupayen Lamongan sebanyak Rp12 juta dan kepada Kristina senilai Rp2 juta. Karena Yusa tak memiliki pekerjaan dan utangnya terus menumpuk, ia pun memutuskan bertemu Kristina untuk meminjam uang. Kristina menolak permintaan Yusa sebab sang adik belum melunasi utang sebanyak Rp2 juta kepadanya. Penolakan itu kemudian memicu rasa sakit hati bagi Yusa hingga merencanakan pembunuhan terhadap Kristina dan keluarganya. Buntut aksi kejamnya, Yusa tak hanya divonis mati, pihak keluarga juga enggan menerimanya kembali. Sepupu korban dan pelaku, Marsudi (28), mengungkapkan pihak keluarga tak akan menerima kepulangan Yusa. Keluarga sudah enggak mau menerima (jika pelaku pulang), ungkapnya. Kronologi Pembunuhan Rencana pembunuhan oleh Yusa Cahyo Utomo terhadap Kristina dan keluarganya berawal dari penolakan korban meminjami uang kepada pelaku, Minggu (1/12/2024). Sakit hati permintaannya ditolak, Yusa kembali ke rumah Kristina pada Rabu (4/12/2024) dini hari pukul 3.00 WIB. Ia menyelinap ke dapur di bagian belakang rumah dan menunggu Kristina keluar. Saat Kristina keluar, Yusa lantas menghabisi nyawa kakak kandungnya itu menggunakan palu. Suami Kristina, Agus, mendengar suara teriakan sang istri dan keluar untuk mengecek. Nahas, Agus juga dibunuh oleh Yusa. Aksi Yusa berlanjut dengan menyerang anak Kristina, CAW dan SPY. Namun, ia membiarkan SPY tetap hidup sebab merasa kasihan. Usai melancarkan aksinya, Yusa membawa barang berharga milik korban, termasuk mobil dan beberapa telepon genggam. Ia kemudian kabur ke Lamongan dan berhasil ditangkap pada Kamis (5/12/2025). Atas perbuatannya, Yusa dijatuhi vonis mati buntut pembunuhan berencana terhadap Kristina dan keluarga. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yusa Cahyo Utomo dengan hukuman mati, kata Ketua Majelis Hakim, Dwiyantoro dalam sidang putusan yang berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025), pukul 12.30 WIB, masih dikutip dari TribunJatim.com.