Polisi tak Tilang Jika Bisa Baca Al-Qur’an: Peraturan Diskriminatif dan Bertentangan dengan Konstitusi

- Rabu, 05 Maret 2025 | 17:30 WIB
Polisi tak Tilang Jika Bisa Baca Al-Qur’an: Peraturan Diskriminatif dan Bertentangan dengan Konstitusi

Selain masalah diskriminasi, kebijakan ini juga berpotensi membuka celah bagi praktik korupsi dan manipulasi dalam penegakan hukum. Tidak ada standar yang jelas tentang bagaimana kemampuan membaca Al-Qur’an dinilai. Apakah hanya sekadar membaca beberapa ayat? Apakah harus lancar? Siapa yang menilai?


Tanpa mekanisme yang objektif dan terukur, kebijakan ini bisa dengan mudah disalahgunakan. Pelanggar bisa saja pura-pura membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata hanya untuk menghindari sanksi tilang. Polisi lalu lintas pun berpotensi bertindak subyektif dalam menilai siapa yang layak mendapat dispensasi.


Di sisi lain, kebijakan ini juga dapat melemahkan disiplin berlalu lintas. Jika seseorang tahu bahwa ia bisa lolos dari tilang hanya dengan membaca Al-Qur’an, maka ada kemungkinan kesadaran untuk menaati aturan lalu lintas akan berkurang. Ketertiban lalu lintas seharusnya ditegakkan berdasarkan aturan yang jelas dan konsisten, bukan berdasarkan faktor subjektif seperti kemampuan membaca kitab suci.


Kebijakan polisi yang tidak menilang pelanggar lalu lintas jika bisa membaca Al-Qur’an jelas merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan prinsip negara hukum. Peraturan ini tidak hanya merugikan non-Muslim, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi Muslim yang tidak bisa membaca Al-Qur’an.


Lebih jauh, kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan asas keadilan dalam penegakan hukum. Setiap warga negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa pengecualian berbasis agama atau kemampuan membaca kitab suci.


Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa aturan lalu lintas tetap ditegakkan dengan adil dan konsisten. Jika ada upaya untuk meningkatkan literasi Al-Qur’an di kalangan masyarakat Muslim, seharusnya dilakukan dalam konteks pendidikan, bukan dalam bentuk kebijakan yang mencampuradukkan hukum lalu lintas dengan aspek keagamaan.


Kebijakan ini harus segera dievaluasi dan dicabut demi menjaga prinsip konstitusionalisme, keadilan, serta kesatuan sosial di Indonesia.


Oleh: Rokhmat Widodo

Guru SMK Luqmanul Hakim Kudus, Kader Muhammadiyah Kudus

______________________________________

Halaman:

Komentar