Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) nasional tahun ini benar-benar mengejutkan. Rata-rata Matematika cuma 36,10. Bahasa Inggris? Lebih parah lagi, cuma 24,93. Angka-angka itu terpampang nyata, sulit diabaikan. Memang gampang menyalahkan siswa yang dianggap "malas belajar". Tapi data sekeras ini bicara lebih lantang: ada yang salah dalam cara kita mengajar, bukan semata pada kemampuan anak didik.
Persoalannya rumit, berlapis-lapis. Lihat saja kurikulum kita. Berganti nama dan istilah setiap ada menteri baru, namun esensi pembelajarannya mandek di tempat. Guru dan siswa terus-terusan disuruh adaptasi, kelelahan. Akhirnya, pemahaman konsep dasar malah terbengkalai. Istilah-istilah seperti "Capaian Pembelajaran" terdengar mentereng, tapi di lapangan waktu justru habis untuk mengurus format dan administrasi. Logika dan diskusi mendalam? Itu jadi barang langka.
Ini bukan omong kosong. Teori pendidikan punya penjelasannya. Ambil contoh Lev Vygotsky.
Menurutnya, belajar yang bermakna butuh interaksi yang memicu nalar.
Tapi kenyataannya? Ruang kelas lebih sering jadi tempat mengeksekusi tumpukan dokumen, bukan arena tukar pikiran. Kita sibuk di atas kertas, tapi ruang kelas terasa hampa.
Belum lagi beban guru. Dijejali seabrek tugas administratif evaluasi lewat aplikasi, laporan digital, unggah-unggah berkas waktu mengajar yang berharga pun terkikis. Secara teori namanya akuntabilitas. Namun pada praktiknya, guru berubah jadi pekerja data yang kehilangan tenaga untuk hal yang paling penting: mengajar.
Riset John Hattie sudah mengonfirmasi hal ini.
Artikel Terkait
Meme dan Kebencian: Jejak Ekstremisme Sayap Kanan di Kalangan Pelajar Indonesia
Bangkai Ayam dan Ancaman Maut untuk Aktivis Lingkungan
Gempa 4,6 Magnitudo Guncang Bolmut, Getaran Terasa Hingga Gorontalo
Warisan Abu Ubaidah Bergema: Jihad, Hanya Kemenangan atau Syahid