Oleh: Rosadi Jamani
Bayangkan industri tanpa buruh. Semuanya bakal macet total. Tapi, suara pengusaha selalu lebih didengar ketimbang teriakan orang kecil. Mau minta kenaikan gaji? Harus turun ke jalan dulu, berdemo.
Senin, 29 Desember 2025, Jakarta dan Bandung berubah jadi panggung pertunjukan yang nyata. Sekitar 20 ribu buruh membanjiri jalanan. Mereka tak bawa senjata, tapi membawa angka: Rp6 juta. Bagi sebagian elite, angka itu cuma mimpi di siang hari. Padahal, bagi para buruh, itu cuma tiket sederhana agar hidup tak terus-terusan dikejar tanggal tua.
Di sisi lain, Pemprov DKI dengan bangga mengumumkan UMP 2026 sebesar Rp5,7 juta. Naik 6,17 persen. Rasanya seperti pesta kecil. Padahal, di lapangan, harga beras, sewa kontrakan, dan biaya sekolah sudah lebih dulu melonjak jauh lebih tinggi. Kenaikan upah ini ibarat gerimis di tengah banjir bandang secara teknis basah, tapi kenyataannya kita tetap tenggelam.
Yang mereka minta sebenarnya sederhana: UMP Rp6 juta, seratus persen sesuai Kebutuhan Hidup Layak. Bukan gaji menteri. Cuma ingin definisi "layak" itu tak dipotong oleh faktor alpha 0,75, seolah-olah seperempat hidup mereka boleh dikorbankan demi regulasi. Dalam logika kebijakan, 'layak' itu fleksibel. Tapi dalam logika perut yang keroncongan, 'layak' itu mutlak.
Aksi mereka berpusat di Patung Kuda, Monas, hingga mendekati Istana Merdeka. Juga di Gedung Sate Bandung. Berlangsung dua hari.
Menurut sejumlah saksi, aparat menurunkan 1.392 personel dengan jargon pengamanan yang humanis. Humanis versi baru ini agak unik: tanpa senjata api, tapi dengan derek. Mobil komando buruh yang jadi corong demokrasi di jalanan ditarik paksa di kawasan Medan Merdeka Selatan. Orasi terhenti mendadak. Suara mereka hilang, bukan karena lelah, tapi karena alat bicaranya disita. Demokrasi pun kehilangan pengeras suaranya.
Sulit menyalahkan pernyataannya. Akses ke Istana ditutup, aksi dialihkan. Pesannya jelas: silakan bersuara, asal jangan terlalu dekat dengan pusat kekuasaan. Demokrasi boleh hidup, asal jangan parkir sembarangan.
Pemprov DKI, lewat Gubernur Pramono Anung, berkeras bahwa UMP mereka adalah yang tertinggi se-Indonesia. Memang benar. Tapi mengatakan hal itu di Jakarta ibarat membanggakan kapal paling mewah, sambil pura-pura tak lihat ombak besar yang menghadang. Biaya hidup di ibu kota juga yang tertinggi. Subsidi transportasi dan pangan yang dijanjikan sebagai bantalan sosial, seringkali hanya empuk di atas kertas. Ia mungkin meredam benturan sesaat, tapi tak mampu menghentikan erosi daya beli yang terus terjadi.
Artikel Terkait
Satu Semester Berjalan, Sekolah Rakyat Tunjukkan Kemajuan Holistik
Kepala Dinsos Samosir Ditahan, Dana Bencana Rp1,5 Miliar Raib di Tangan Pejabat
Jalan Berlubang di Duren Sawit, Warga Waswas Setiap Melintas
Serangan Siber Berujung Ancaman: Selebgram Sherlyannavita Jadi Sasaran Kebencian Terkoordinasi