Slank dan Topeng Joker: Tertawa di Negeri yang Sakau

- Senin, 29 Desember 2025 | 13:25 WIB
Slank dan Topeng Joker: Tertawa di Negeri yang Sakau

Saat Slank Bercermin di Kaca Retak "Republik Fufufafa" Sakau

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller

Kabut dan keriuhan menyelimuti Jakarta di penghujung tahun. Di sebuah studio sempit di Condet, lima lelaki berusia setengah abad itu berdiri. Wajah mereka dilumuri cat putih, dengan senyum merah lebar yang ditarik paksa hingga ke pipi seperti topeng yang menertawakan dirinya sendiri. Bimbim, si drummer, menatap kawannya lewat cermin monitor rekaman.

"Kita main Joker," bisiknya, suaranya rendah. "Tapi Joker yang tahu dia cuma badut dalam sirkus besar."

Lagu itu lahir dari kesunyian. Jam tiga pagi, dari kegelisahan yang akhirnya meluap. "Republik Fufufafa". Frasanya terdengar seperti tertawaan tercekik, semacam eforia yang pahit. Sebuah negeri dalam imajinasi, tapi sekaligus cermin dari yang nyata.

Aku lahir di negeri kacau balau
Orang-orangnya pada sakau-sakau
Sakau kuasa, sakau narkoba…

Kata "sakau" itu menggantung di ruang rekaman, persis seperti asap rokok yang enggan hilang. Bimbim teringat masa lalu, saat Slank masih manggung di pinggir rel kereta, memprotes dengan gitar murahan. Dulu, "sakau" cuma soal pecandu yang gemetar di sudut gelap. Kini, maknanya meluas. Jadi metafora untuk satu bangsa yang kecanduan candu kuasa, candu perhatian, candu kemarahan, candu kesenangan semu.

Dia juga ingat sebuah pertunjukan di istana, beberapa tahun silam. Lampu sorot menyilaukan, jabat tangan dengan orang-orang terkuat. Saat itulah ada yang berbisik, "Slank sudah jadi bagian dari mereka." Bisikan itu mengendap. Tumbuh seperti lumut di batu kesadaran.

Topeng Joker

Di layar monitor, wajah-wajah yang dicat itu menatap balik. Setiap garis merah di sudut bibir adalah tanda tanya. Masihkah kita seperti dulu? Atau justru jadi bagian dari kegilaan yang kita kritik?

Pemilihan karakter Joker jelas bukan kebetulan. Dalam dunia Batman, Joker adalah cermin retak kota Gotham produk sekaligus penantang sistem. Tertawanya bukan tanda bahagia, tapi pengakuan atas absurditas yang jadi norma. Dengan topeng itu, Slank seolah bertanya pada diri sendiri: di mana posisi kita dalam absurditas negeri ini?

Seorang fans tua pernah berkomentar di YouTube, "Slank kembali ke akar." Tapi akar yang mana? Akar sebagai pengkritik, atau akar sebagai penghibur yang paham betul bahwa kontroversi adalah mata uang baru di era digital?

Fufufafa, Hantu Digital

Fufufafa. Namanya muncul dari kegelapan internet, dari forum-forum tanpa wajah. Sebuah akun anonim yang jadi suara tanpa tubuh, kritik tanpa risiko. Dengan mengabadikannya dalam lagu, Slank membangun jembatan. Antara dunia nyata tempat mereka harus berjabat tangan dengan kekuasaan, dan dunia maya tempat semua orang bisa bersembunyi di balik avatar.


Halaman:

Komentar