Di dunia medsos, yang paling keras sering dianggap paling benar. Yang paling marah dianggap paling peduli. Algoritma nggak peduli kebenaran; ia cuma cari atensi. Dan atensi paling gampang didapat dari konflik dan kebencian.
Kalau cuma mengejar trafik, media bakal kalah. Kalah dari influencer, dari kreator individu, bahkan dari mesin AI. Satu-satunya keunggulan media yang tersisa adalah kepercayaan. Dan itu nggak bisa diakali.
Ada hal lain yang mungkin nggak nyaman didengar. Krisis media sekarang ini bukan cuma krisis industri. Ini krisis budaya berpikir. Kita terbiasa dengan segala yang instan, cepat, ringkas. Kita mulai nggak sabar dengan proses.
Padahal, kebenaran nggak pernah instan. Verifikasi itu lambat. Pendalaman itu melelahkan. Menyajikan konteks nggak seksi. Tapi tanpa itu semua, media kehilangan rohnya.
Lalu, bagaimana dengan publik? Gampang menyalahkan media, dan kadang itu benar. Tapi kita juga perlu bercermin. Sering kan, membagikan berita tanpa baca isinya? Percaya karena cocok dengan emosi, bukan karena validasi. Ingin media ideal, tapi sendiri malas bersikap kritis.
Jadi, ini krisis bersama. Media tanpa publik yang kritis akan mudah tergelincir. Publik tanpa media yang bertanggung jawab akan gampang dimanipulasi.
Indonesia nggak kekurangan kecerdasan. Yang kita butuhkan adalah kesediaan untuk berpikir pelan di dunia yang serba cepat. Media masa depan bukan yang paling ramai, tapi yang paling jelas sikapnya.
Bukan yang pura-pura netral di tengah ketidakadilan, tapi yang jujur pada nilai kemanusiaan. Netral bukan berarti diam. Objektif bukan berarti tak punya keberpihakan. Media harus berpihak pada fakta, pada kebenaran, pada martabat manusia.
Saya percaya media nggak akan mati. Yang mati adalah media yang nggak mau berubah. Media masa depan mungkin akan lebih kecil, lebih fokus pada segmen tertentu. Tapi lebih dalam. Ia nggak akan kejar semua orang, tapi melayani audiens yang sadar dan mau berpikir. Ia akan membangun sistem, bukan cuma semangat sesaat.
Untuk generasi muda, para kreator dan jurnalis baru, pesan Medita: Jangan takut untuk lambat, asal benar. Jangan takut nggak viral, asal jujur. Dalam jangka panjang, kebenaran selalu nemuin jalannya sendiri.
Kita nggak sedang perang antara media lawan medsos. Kita sedang berperang antara nalar dan kebisingan. Dan perang ini nggak dimenangkan oleh teknologi, tapi oleh pilihan etis. Pilihan untuk bertanggung jawab atas apa yang kita produksi, berhenti mengeksploitasi emosi, dan merawat akal sehat publik.
Pada akhirnya, media bukan soal platform. Ia soal manusia. Dan masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh seberapa jujur kita pada informasi yang kita sebarkan hari ini.
(Imam Wahyudi)
Artikel Terkait
Jakarta Ganti Kembang Api dengan Drone untuk Sambut 2026
Jembatan Darurat Krueng Tingkem Akhirnya Beroperasi, Akses ke Banda Aceh Kembali Terhubung
Karpet Merah untuk WN China di Indonesia: Pemicu Insiden Ketapang dan Ancaman bagi Nasionalisme?
Gempa Dangkal 4,7 SR Guncang Agam, Getaran Terasa hingga Kota Tetangga