Bayangan saya tentang penugasan ke Buntok, Barito Selatan, dulu mirip petualangan Indiana Jones. Tentu saja, tanpa topi fedora dan cambuk. Saya kan cuma perantau dengan jam terbang main yang pas-pasan.
Namun begitu, di balik rimbunnya hutan Kalimantan Tengah, saya justru mendapat pelajaran hidup yang jauh lebih berharga. Sebuah kursus kilat tentang kemanusiaan, lebih manjur ketimbang seminar motivasi manapun.
Semuanya berawal di Natal 2011. Saat itu, dunia masih riuh dengan bunyi 'ping!' dari BlackBerry Messenger. WhatsApp belum jadi penguasa yang bikin kita pusing dengan centang biru atau grup keluarga.
“Kalau ke Palangka, datang ke rumah. WAJIB!”
Itu titah dari Bos Top alm. Topan Nanyan mentor saya di desk kriminal yang karirnya sedang melejit. Undangannya lebih mirip instruksi militer ketimbang ajakan biasa. Padahal, tanpa disuruh pun, radar saya untuk makanan gratis selalu aktif.
Bagi saya, Palangka Raya bukan cuma ibu kota provinsi. Ia seperti kota kedua, tempat saya pulang setelah kampung halaman di Pati. Jadi begitu libur tiba, jiwa saya sudah melayang ke arah Jembatan Kahayan, meski raga masih terikat di Buntok.
Sesampainya, saya langsung 'menginvasi' kantor WALHI Kalteng untuk mandi. Lalu, mulailah safari Natal. Di sinilah keajaiban itu muncul.
Sebagai seorang Muslim dari lingkungan yang homogen, saya sempat khawatir. "Nanti di sana makan apa ya? Mungkin harus bawa biskuit cadangan," pikir saya.
Ternyata, kekhawatiran itu sama sekali tak berdasar. Bahkan, rasanya seperti penghinaan terhadap seni toleransi yang mereka praktikkan.
Artikel Terkait
Istidraj: Ketika Kemudahan Dunia Justru Menjadi Jebakan
Zelensky di Luar Negeri, Rusia Klaim Kuasai Dua Kota Kunci di Timur Ukraina
Indonesia Serukan Penahanan Diri Jelang Eskalasi di Yaman Selatan
Aksi Pedang Samurai Gerebek Silaturahmi Natal di Minahasa