Paus Fransiskus dan Bill Gates: Dua Suara, Satu Bumi yang Merintih

- Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:25 WIB
Paus Fransiskus dan Bill Gates: Dua Suara, Satu Bumi yang Merintih

Komentar Gates ini muncul jelang konferensi iklim global COP30 di Brasil. Di sana, adaptasi dan inovasi diprediksi akan jadi fokus utama.

Trump? Ia tetap pada pendiriannya. Selama ini ia sering menyebut isu perubahan iklim sebagai penipuan terbesar, dan sejak kembali menjabat, banyak kebijakan hijau era sebelumnya dibatalkan. Baginya, isu lingkungan seringkali berbenturan dengan pertumbuhan ekonomi.

Diplomasi Hijau Indonesia

Lalu, di mana posisi Indonesia dalam keriuhan ini? Ternyata, cukup strategis. Pada COP30 di Brasil nanti, Indonesia tak cuma datang sebagai peserta. Negeri ini menunjukkan komitmen konkret dengan menyumbang US$1 miliar sekitar Rp16,8 triliun untuk dana konservasi hutan Tropical Forest Forever Facility (TFFF).

Jumlahnya setara dengan kontribusi Brasil, sang tuan rumah. Ini adalah langkah diplomasi hijau yang cukup signifikan.

Dana itu ditujukan untuk pendanaan permanen bagi negara tropis yang melestarikan hutannya. Mekanisme pembiayaan berbasis hasil (RBP) akan diperkuat, dengan memastikan manfaatnya juga sampai ke masyarakat lokal dan adat. Kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) nasional diharapkan bisa menarik lebih banyak sektor swasta terlibat.

Intinya, Indonesia ingin jadi etalase. Menunjukkan inovasi energi bersih, kerja sama transfer teknologi, dan tata kelola hutan yang baik. Posisinya sebagai pemimpin dalam pembiayaan iklim global sedang diuji.

Organisasi seperti Greenpeace pun menyoroti. Mereka mendesak agar 20% dana TFFF dialokasikan untuk Masyarakat Adat, sekaligus mendorong komitmen anti-deforestasi yang lebih kuat dari Indonesia. Pujian atas tata kelola yang baik harus dibarengi dengan praktik yang transparan dan adil.

Kiamat yang Nyata di Sumatera

Namun begitu, semua diplomasi dan retorika global itu harus diuji di lapangan. Dan ujiannya datang tak lama setelah COP30.

Bencana menerjang Pulau Sumatera. Aceh, Sumut, Sumbar lebih dari 1.000 orang meninggal. Lebih dari setengah juta rakyat harus mengungsi, kehilangan segala yang mereka punya.

Bencana di akhir November 2025 itu adalah gambaran suram. Ia adalah cermin dari keserakahan, kekuasaan tanpa pengawasan, dan kemiskinan yang akut. Hujan dan badai bibit siklon selama tiga hari berubah jadi lautan lumpur, air bah, dan ribuan balok kayu hasil pembalakan liar yang hanyut bersama arus.

Pemerintah berencana menyiapkan dana Rp 60 Triliun untuk perbaikan sarana. Tapi, uang saja tak cukup. Saatnya bumi ini, mulai dari Sumatera, dirawat dengan sungguh-sungguh.

Sumatera bagaikan sebuah kiamat. Ini bukan hoax, bukan retorika politik. Ini nyata. Sumatera harus "dihijaukan" kembali. Reboisasi masif bukan lagi pilihan, tapi keharusan yang mendesak.

Seperti pepatah Brasil yang mengatakan, “Um rio é feito de muitas gotas”. Sebuah sungai besar terbentuk dari banyak tetes air.

Masa depan planet kita juga begitu. Ia dibangun dari langkah-langkah kecil, komitmen yang konsisten, dan aksi nyata yang dilakukan bersama-sama. Dari Vatikan, Washington, hingga pelosok Sumatera, pesannya sama: rumah kita ini sedang sakit. Dan kita semua harus jadi penjaganya.


Halaman:

Komentar