Dalam ranah organisasi, tuntutan islah sebenarnya lebih berat. Ia tak bisa cuma dimaknai sebagai ajakan untuk rukun semata. Islah harusnya berarti perbaikan yang menyentuh struktur dan mekanisme kelembagaan. Bukan sekadar upaya menutupi konflik supaya citra organisasi tetap kinclong.
Ambil contoh konflik internal di tubuh PBNU yang belakangan mencuat. Iṣlāḥ jadi kata kunci untuk menyelesaikannya secara konstitusional. Berbagai elemen, mulai dari Rais Aam sampai Ketua Umum, sudah membuka ruang dialog. Tujuannya jelas: mencegah perpecahan dan menjaga ukhuwah di dalam jam’iyyah.
Kalau kita tilik sejarah, NU sejatinya lahir dengan semangat islah yang menggebu. Organisasi ini adalah respons terhadap tantangan kolonialisme sekaligus keinginan kuat untuk memperbaiki keadaan umat. Caranya? Melalui pendidikan pesantren, dakwah, dan penguatan tradisi Islam yang moderat. Dari sanalah, NU bisa dilihat sebagai jam’iyyah iṣlāḥ wa taqwiyah organisasi yang berdiri untuk perbaikan dan penguatan umat.
Sebagai bagian dari ahlus sunnah wal jama’ah, NU memang tak menutup diri dari perubahan. Prinsipnya, hal baru boleh diambil asal memberi dampak positif bagi kemaslahatan umat. Orientasi ini selaras dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah yang menempatkan maslahah sebagai landasan penting.
Dua Sisi Islah: Moral dan Struktural
Seruan islah juga punya dimensi moral yang kental. Ia bukan cuma urusan administratif atau prosedural. Lebih dari itu, ia adalah nasihat moral yang diwariskan para sesepuh, bagian dari tradisi keulamaan NU yang khas.
Dimensi ini penting agar penyelesaian masalah dilakukan dengan hikmah, adab, dan akhlak Islami. Jadi, islah di NU bukan sekadar rekonsiliasi yang pragmatis. Ia adalah proses tausiyah yang harus berjalan secara beradab.
Pada akhirnya, islah bukan kata kosong yang diulang-ulang untuk menciptakan kedamaian semu. Ia adalah agenda ganda: moral dan struktural. Ia menuntut aksi nyata untuk membenahi kelembagaan dan sekaligus mengokohkan komitmen pada prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah fondasi utama keberadaan NU.
Jika iṣlāḥ bisa dijalankan dengan benar, berlandaskan nilai agama, aturan organisasi, dan tentu saja kemaslahatan umat, maka konflik internal justru bisa jadi momentum berharga. Saat untuk tadabbur, evaluasi kelembagaan, dan penguatan kembali arah organisasi.
Khaerul Umam, Mahasiswa Magister Ilmu Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Artikel Terkait
Bailout Terselubung di Balik Dana Pemulihan Pasca Banjir Sumatera?
Tragedi di Pegunungan Gayo: Dua Penderes Pinus Ditemukan Tewas dengan Luka Senjata Tajam
Natal di Watutumou Berakhir Gelap Gara-gara Listrik Padam Seharian
Mantos Dipadati Pengunjung Usai Perayaan Natal