Lalu, bagaimana memaknai islah dalam konteks organisasi seperti NU? Di sini, islah menuntut lebih dari sekadar ajakan berdamai atau berjabat tangan. Ia harus dimaknai sebagai upaya perbaikan yang menyentuh struktur dan mekanisme kelembagaan. Bukan cuma upaya menutupi konflik agar citra organisasi tetap terjaga.
Ambil contoh konflik internal di tubuh PBNU yang sempat mencuat beberapa waktu lalu. Iṣlāḥ kemudian menjadi kata kunci untuk menyelesaikannya secara konstitusional. Berbagai elemen, mulai dari Rais Aam sampai Ketua Umum, membuka ruang dialog. Tujuannya jelas: mencegah perpecahan dan menjaga ukhuwah di dalam jam’iyyah.
Memang, sejak awal berdirinya, NU sudah punya semangat islah yang mengakar. Organisasi ini lahir sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme dan keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi umat. Caranya? Melalui pendidikan pesantren, dakwah, dan penguatan tradisi Islam yang moderat dan inklusif. Dalam arti tertentu, NU sejak dulu sudah berfungsi sebagai jam’iyyah iṣlāḥ wa taqwiyah organisasi yang menegakkan perbaikan dan penguatan umat.
Di sisi lain, sebagai bagian dari ahlus sunnah wal jama’ah, NU tidak menutup diri dari perubahan. Organisasi ini terbuka terhadap hal-hal baru, asalkan punya dampak positif bagi kemaslahatan umat. Orientasi ini sejalan dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah yang menempatkan maslahah sebagai landasan penting.
Dua Sisi Islah: Moral dan Struktural
Perlu diingat, seruan islah juga punya dimensi moral yang kuat. Ia bukan sekadar prosedur administratif. Lebih dari itu, ia adalah nasihat moral yang diwariskan para sesepuh sebuah tradisi keulamaan yang khas NU.
Dimensi moral ini menekankan bahwa penyelesaian masalah harus dilakukan dengan hikmah, adab, dan akhlak Islam yang luhur. Dengan begitu, islah di NU bukan sekadar rekonsiliasi pragmatis belaka. Ia adalah proses tausiyah yang beradab.
Jadi, islah bukan kata kosong yang diulang-ulang untuk menciptakan kedamaian semu. Ia adalah agenda nyata baik moral maupun struktural yang menuntut tindakan konkret. Tujuannya: memperbaiki kelembagaan dan sekaligus memperteguh komitmen pada prinsip Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menjadi fondasi NU selama ini.
Jika iṣlāḥ bisa dijalankan dengan benar, berlandaskan nilai agama, aturan organisasi, dan tentu saja kemaslahatan umat, maka konflik internal justru bisa menjadi momentum berharga. Saat untuk tadabbur, evaluasi kelembagaan, dan penguatan kembali arah organisasi ke depan.
Artikel Terkait
Jerat Scam di Kamboja: Sembilan WNI Pulang Setelah Kabur dari Kantor Penjara
KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Tambang Rp 2,7 Triliun di Konawe Utara
Teddy Indra Wijaya Sambangi Kapolri hingga Adik Prabowo di Hari Natal
Ketenangan Batin: Kunci Menemukan Harmoni di Tengah Dunia yang Tak Bisa Dikendalikan