Lalu analisis tinta: apakah komposisi kimia dan kekeringannya sesuai untuk dokumen berusia 30 tahun lebih?
Belum lagi pemeriksaan mikroskopis dan spektral yang bisa membedakan antara "kelihatan tua" dan "benar-benar tua". Teknologi forensik Eropa memang dirancang untuk mematahkan ilusi semacam ini.
Yang Ketiga, Soal Validasi dan Arsip
Belanda punya sejarah panjang dalam standar dokumentasi dan kearsipan yang ketat. Mereka jagonya dalam validasi komparatif. Dalam dunia forensik, kondisi fisik sebuah dokumen adalah saksi paling jujur. Di sana, alasan seperti "arsip hilang" atau "terkena banjir" tak akan laku. Yang bicara adalah fakta material.
Kesimpulannya: Berani Diuji, Berani Jujur
Mengajukan uji forensik ke Belanda pada dasarnya adalah tantangan terbuka. Tantangan untuk akal sehat dan integritas.
Kalau dokumen itu asli, seharusnya tidak ada alasan untuk menolak pembuktian ilmiah seketat ini. Hasil positif dari lab Belanda akan menjadi penutup permanen untuk seluruh polemik. Nama baik Presiden Jokowi pun akan bersih dalam catatan sejarah.
Sebaliknya, penolakan terhadap metode pembuktian yang paling independen ini justru akan terus memupuk kecurigaan. Dan kita semua tahu, kebenaran sejati tidak takut pada pengujian.
Jadi, kalau memang ingin polemik ini berakhir sekarang juga, kirimkan saja dokumennya ke Belanda. Biarkan sains yang berbicara, saat kata-kata dari mulut politisi sudah tak lagi didengar.
(Oleh: Lhynaa Marlinaa)
"fb
Artikel Terkait
Islah di Tubuh NU: Antara Jargon dan Perbaikan yang Nyata
Gus Ipul Serahkan Dinamika NU pada Musyawarah Ulama
Habib Rizieq Sindir Pemerintah: Kalau Ngutang Boleh Malu, Tetapkan Bencana Nasional Jangan Malu!
Hujan 418 Milimeter dalam Sehari, Aceh Pecahkan Rekor Curah Hujan Tertinggi dalam 6 Tahun