Jumat pagi itu, udara di Desa Suak Indrapuri terasa berat. Di antara nisan-nisan di kuburan massal itu, sejumlah warga terduduk hening. Mereka berdoa, mengenang keluarga yang hilang diterjang gelombang dua puluh satu tahun silam. Tanggal 26 Desember selalu membawa mereka kembali ke tempat ini.
Rutinitas tahunan ini adalah bentuk pelipur. Bagi mereka, ziarah bukan sekadar ritual. Ini cara untuk mendoakan ayah, ibu, anak, atau saudara yang menjadi korban gempa dahsyat 9,2 SR dan tsunami yang menyusul setelahnya. Kenangan itu masih terasa jelas, meski sudah dua dekade berlalu.
Dampak hari itu sungguh mengerikan. Menurut catatan, bencana yang melanda Samudera Hindia itu merenggut sekitar 230 ribu jiwa. Korban tersebar di tiga belas negara! Aceh sendiri menjadi wilayah yang paling parah terdampak.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat pun tak tinggal diam. Mereka menggelar acara zikir dan doa bersama untuk para korban. Acara yang diadakan di tempat terpisah itu dihadiri cukup banyak orang. Tampak para ASN dan warga biasa duduk berdampingan, menyatukan hati dalam doa.
Suasana haru dan khidmat jelas terasa. Namun begitu, ada juga nuansa ketabahan yang menguar dari raut wajah mereka yang hadir. Bencana telah merenggut banyak hal, tapi semangat untuk terus mengenang dan melanjutkan hidup tak pernah padam.
Artikel Terkait
KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Tambang Rp 2,7 Triliun di Konawe Utara
Teddy Indra Wijaya Sambangi Kapolri hingga Adik Prabowo di Hari Natal
Ketenangan Batin: Kunci Menemukan Harmoni di Tengah Dunia yang Tak Bisa Dikendalikan
Di Balik Kehadiran Rais Aam, Kursi Ketum PBNU Kosong dalam Doa Bersama NU