Dari Piagam Madinah ke Nakba: Jejak Panjang Pengkhianatan dan Perjuangan di Tanah Palestina

- Rabu, 24 Desember 2025 | 05:50 WIB
Dari Piagam Madinah ke Nakba: Jejak Panjang Pengkhianatan dan Perjuangan di Tanah Palestina

Sejak saat itu, konflik ini berubah jadi tragedi kemanusiaan yang berlarut-larut. Korban jiwa berjatuhan, generasi hancur, dan terciptalah salah satu krisis pengungsi terlama di muka bumi.

Pada perang 1948-1949 saja, sekitar 700 ribu lebih warga Palestina terusir dari rumah mereka. Ratusan desa rata dengan tanah atau dikosongkan paksa. Pengusiran ini bukan efek samping, tapi bagian dari desain pembentukan negara baru yang mengubah penduduk asli jadi pengungsi di tanah sendiri.

Ribuan tewas kala itu, baik dalam pertempuran maupun pembantaian setempat. Tak heran jika banyak sejarawan menyebut Nakba sebagai akar konflik struktural yang terus berdenyut sampai sekarang.

Perang 1967 memperburuk keadaan. Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza. Hidup di bawah sistem militer jadi kenyataan pahit bagi warga Palestina: pergerakan dibatasi, tanah direbut, air dikuasai.

Korban terus berjatuhan, meski sering tak masuk berita utama. Penembakan, penahanan massal, pembongkaran rumah itu jadi menu harian. Kekerasannya tak selalu spektakuler, tapi berupa tekanan sistematis yang perlahan menyiksa.

Dua kali Intifada 1987 dan 2000 menjadi simbol perlawanan sekaligus periode paling berdarah. Ribuan warga Palestina tewas, puluhan ribu luka atau mendekam di penjara.

Pola yang muncul selalu sama: setiap ada perlawanan, respons militer Israel selalu jauh lebih besar, dan seringkali mengenai warga sipil. Anak-anak dan perempuan jadi korban signifikan, memperlihatkan ketimpangan kekuatan yang sangat menyedihkan.

Sejak Gaza diblokade tahun 2007, wilayah kecil itu berubah jadi penjara terbuka terbesar. Perang besar berkali-kali meletus: 2008, 2012, 2014, 2021, dan yang terparah sejak 2023 hingga kini.

Dalam konflik terkini, puluhan ribu telah tewas mayoritas sipil. Rumah sakit, sekolah, kamp pengungsi disasar. Infrastruktur hancur lebur, sementara warga tak punya tempat lagi untuk lari.

Warisan paling nyata dari pendudukan ini adalah lautan pengungsi. Sekitar 5 sampai 6 juta pengungsi Palestina tercatat hari ini. Kebanyakan adalah anak dan cucu dari mereka yang diusir pada 1948.

Artinya, tragedi ini bukan cuma milik satu generasi. Ini trauma yang diwariskan. Anak-anak tumbuh di kamp pengungsi dengan cerita tentang rumah yang tak pernah mereka lihat, tapi selalu mereka rindukan.

Sejak akhir 2023, angka korban keganasan sudah melampaui 80 ribu jiwa. Sementara pengungsi internal mencapai lebih dari satu juta orang. Situasinya benar-benar di luar kendali.

Melihat rentetan sejarah, dari masa Rasulullah hingga kini, ada pola yang konsisten dilakukan oleh kaum Zionis Israel. Mereka seolah tak kenal damai. Sejak dulu, berbagai makar dan persekongkolan mereka jalankan untuk memerangi kaum Muslim. Kini, dengan dalih apapun, mereka terus berusaha menguasai Palestina sepenuhnya. Pimpinan mereka pun terang-terangan menolak kemerdekaan Palestina.

Mereka berencana, Allah pun punya rencana. Dan rencana Allah adalah yang terbaik. Wallahu azizun hakim.

Nuim Hidayat
Direktur Forum Studi Sosial Politik.


Halaman:

Komentar