BI Gelontor Rp 327 Triliun untuk SBN: Ketika Negara Bertahan Hidup dari Harapan

- Senin, 22 Desember 2025 | 10:40 WIB
BI Gelontor Rp 327 Triliun untuk SBN: Ketika Negara Bertahan Hidup dari Harapan

✍🏻 Erizeli Jely Bandaro

Defisit anggaran Indonesia kian melebar. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan semata-mata gara-gara belanja sosial membengkak, melainkan karena target pemasukan dari pajak ternyata meleset jauh dari sasaran. Nah, yang jadi persoalan, solusi yang diambil bukannya menata ulang struktur anggaran, melainkan justru menambah utang baru.

Lalu, siapa sebenarnya yang membiayai utang itu? Jawabannya semakin nyata sepanjang tahun 2025. Bukan investor asing, bukan juga publik dalam negeri. Pihak yang dominan justru adalah Bank Indonesia (BI).

Mereka membeli Surat Berharga Negara atau SBN, instrumen utang pemerintah untuk menutup kebutuhan anggaran dan pembangunan dalam jumlah yang sangat besar.

Data berbicara. Dari Januari hingga Desember 2025, BI tercatat menggelontorkan sekitar Rp 327 triliun untuk membeli SBN. Pembelian ini dilakukan lewat pasar sekunder maupun skema debt switching. Angka ini bukan omong kosong, melainkan data resmi yang bisa dilacak dari laporan BI dan berbagai pemberitaan di pasar keuangan.

Dalam teori keuangan publik, kondisi seperti ini punya nama yang cukup seram: fiscal dominance. Intinya, kebijakan moneter dipaksa menyesuaikan diri untuk menopang kebutuhan fiskal pemerintah. Bukan sebaliknya. Menurut kerangka Sargent dan Wallace (1981), situasi ini biasanya muncul bukan karena keinginan bank sentral, tapi karena pemerintah kesulitan mendapatkan pembiayaan yang murah dan kredibel dari pasar.

Lantas, mengapa bisa sampai begini?

Pertama, ada krisis kepercayaan dari pasar. Investor belum sampai kabur sih, tapi mereka sekarang minta premi risiko yang lebih tinggi. Dalam situasi serba sulit, negara akhirnya berpaling pada buyer of last resort yaitu bank sentralnya sendiri.

Kedua, kondisi global juga lagi tidak bersahabat. Banyak bank sentral besar di dunia masih dalam fase mengetatkan kebijakan moneter pasca-pandemi. Suku bunga tinggi dan likuiditas global yang ketat jadi menu sehari-hari.


Halaman:

Komentar