AJI saat ini bahkan tengah mengkaji sebuah studi. Hasil sementara menunjukkan praktik swasensor di media nasional memang meningkat. Kalau dibiarkan, masa depan kebebasan pers di Indonesia terlihat suram.
"Jika represi terselubung terhadap media ini berlanjut, maka kebebasan pers di Indonesia bakal menghadapi tantangan serius, bahkan kembali ke praktik otoritarianisme,"
imbuhnya.
Di titik inilah AJI kembali menegaskan posisi Undang-Undang Pers. Regulasi itu adalah fondasi. Fungsi pers sebagai penyampai informasi, kontrol sosial, dan sarana pendidikan publik termasuk dalam situasi darurat harus dijaga.
"Peran jurnalis bukan memperburuk keadaan, melainkan memastikan akuntabilitas tetap berjalan ketika kekuasaan berada dalam tekanan krisis," tegas Sunu.
Sebagai langkah konkret, AJI mendesak KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak dan Seskab Teddy Indra Wijaya untuk menarik pernyataan mereka dan meminta maaf kepada publik.
"Kami juga mendesak pemerintah memberi akses seluas-luasnya dan memberi pelindungan keamanan bagi jurnalis maupun media untuk melakukan liputan di wilayah bencana Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat," tambahnya.
Tak hanya itu, AJI mendorong Dewan Pers untuk bersikap lebih tegas dalam melindungi jurnalis dari ancaman dan intimidasi. Para pemimpin redaksi diingatkan: jaga independensi ruang redaksi.
"Para pemimpin redaksi media (didorong) untuk mempertahankan independensi ruang redaksi dan berpihak pada kepentingan publik," pungkasnya.
Artikel Terkait
Kisah Pilu di Balik Pemulangan Jenazah Korban Kebakaran Hong Kong
Banjir Sumatra: Tagihan Mahal dari Pembangunan yang Abai
Jaksa Agung Copot Tiga Kajari Terjerat OTT KPK
Cinta Lintas Benua: Kisah Pernikahan Viral Pria Sudan dan Gadis Luwu