Guru di Kendari dan Gelombang Ketakutan yang Mengubah Ruang Kelas

- Minggu, 21 Desember 2025 | 18:00 WIB
Guru di Kendari dan Gelombang Ketakutan yang Mengubah Ruang Kelas

Situasi seperti ini jelas merusak iklim belajar. Pendidikan yang ideal butuh interaksi otentik, bukan hubungan yang dibatasi rasa takut. Kecemasan berlebihan membuat guru fokus pada upaya melindungi diri, bukan pada proses pembelajaran. Jika pendidikan berubah jadi medan pertahanan diri, anak-anak justru kehilangan pengalaman belajar yang jujur dan membebaskan.

Lantas, apa solusinya? Kita butuh pendekatan yang lebih struktural. Salah satunya, membangun protokol perlindungan anak yang disepakati bersama oleh sekolah dan orang tua.

Ini bukan sekadar dokumen administratif. Protokol ini harus jadi pedoman etika interaksi yang memberi kejelasan bagi semua pihak. Batas antara tindakan profesional dan yang dianggap melampaui wewenang harus dirumuskan secara terang, tidak multitafsir.

Misalnya, protokol itu perlu menjabarkan bentuk interaksi fisik yang diperbolehkan, prosedur penanganan darurat, cara komunikasi yang profesional, serta mekanisme pengawasan yang tidak mengikis rasa percaya. Kejelasan aturan akan bikin guru merasa aman, sementara orang tua punya pegangan bahwa anak mereka berada di lingkungan yang terjaga.

Untuk memperkuat kesepahaman, protokol ini sebaiknya dituangkan dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani orang tua saat mendaftarkan anak. Dengan begini, sejak awal semua punya persepsi yang seragam: pendidikan memerlukan kerja sama erat, bukan kecurigaan yang saling menggerogoti.

Jika ada orang tua yang tak setuju dengan beberapa ketentuan, mereka bisa mencari sekolah lain yang lebih sesuai. Prinsip transparansi harus jadi dasar semua proses ini.

Ketika aturan mainnya jelas, kesalahpahaman bisa ditekan. Orang tua tidak merasa dibohongi, guru tidak merasa ditinggalkan. Transparansi memunculkan hubungan yang lebih sehat, karena tidak ada ruang untuk interpretasi berlebihan.

Kasus di Kendari, betapa pun menegangkan, harusnya jadi momentum untuk memperkuat kembali kepercayaan antara guru, orang tua, dan sekolah. Perlindungan anak tetaplah prioritas mutlak yang tak bisa ditawar.

Tapi, di saat bersamaan, perlindungan bagi guru sebagai profesi yang rawan disalahpahami juga harus dijaga. Kita tak bisa mengorbankan satu pihak demi melindungi pihak lain.

Pada ujungnya, pendidikan tak akan jalan tanpa rasa aman di kedua belah pihak. Guru butuh keberanian untuk mendidik dengan ketulusan, murid butuh lingkungan yang menghargai martabat mereka. Tanpa keberanian itu yang hanya lahir dari rasa aman dan kepercayaan pendidikan kehilangan ruhnya. Dan bila ruhnya sudah hilang, yang tersisa cuma ruang belajar yang kering, formal, dan tak lagi mampu membentuk manusia seutuhnya.


Halaman:

Komentar