Guru di Kendari dan Gelombang Ketakutan yang Mengubah Ruang Kelas

- Minggu, 21 Desember 2025 | 18:00 WIB
Guru di Kendari dan Gelombang Ketakutan yang Mengubah Ruang Kelas

Belakangan ini, jagat media sosial riuh oleh kasus seorang guru di Kendari.

Ia divonis lima tahun penjara, dan kini sedang mengajukan banding. Tapi, yang bikin gaduh bukan cuma putusan hukumnya. Derasnya video pendek, analisis sepintas, dan narasi-narasi yang terpotong-potong membanjiri linimasa. Informasi yang tak utuh itu dengan cepat menjelma jadi bahan perdebatan sengit, memicu emosi yang sulit dikendalikan.

Di satu sisi, tuntutan keadilan untuk korban bergema kencang. Namun begitu, simpati untuk sang guru juga tak bisa dibilang sedikit. Profesi guru, yang kerap bekerja dalam tekanan, justru jarang dapat pembelaan memadai saat masalah datang. Hasilnya? Ruang diskusi kita penuh dengan kegaduhan dan spekulasi yang makin mengaburkan fakta.

Dampaknya ternyata jauh lebih luas. Opini yang menyebar masif tanpa verifikasi telah mengubah persoalan hukum murni menjadi sebuah kekhawatiran kolektif di dunia pendidikan. Banyak guru mulai dilanda kecemasan. Mereka bertanya-tanya, tindakan apa saja yang selama ini dianggap wajar bisa tiba-tiba disalahartikan, direkam, lalu diviralkan hingga menghancurkan karier?

Nyaris tak pernah sebelumnya dunia pendidikan serentan ini menghadapi tekanan opini publik.

Posisi guru pun jadi serba salah. Di era meningkatnya kesadaran perlindungan anak, berbagai regulasi baru mengharuskan sekolah menjalankan standar yang ketat. Tapi, ketatnya aturan tanpa diimbangi pemahaman publik yang memadai justru melahirkan kecemasan baru. Guru menjadi terlalu berhati-hati, bahkan cenderung takut, dalam mendampingi anak didiknya. Hal-hal yang seharusnya adalah ekspresi kepedulian, kini dilihat sebagai potensi masalah.

Menyapa dengan ramah, memeriksa anak yang terlihat sakit, atau menolong murid yang hampir pingsan saat upacara tindakan sederhana itu sekarang harus dipikirkan berulang kali.

Kekhawatiran terbesar muncul saat tindakan darurat, yang harusnya spontan demi keselamatan anak, justru bisa direkam dan dipelintir jadi tuduhan tak pantas. Bahkan menggotong anak pingsan, sebuah tindakan kemanusiaan, bisa berubah jadi malapetaka bagi guru jika dipahami secara keliru.

Kalau ketakutan ini terus meluas, ekosistem pendidikan akan berubah drastis. Guru makin kehilangan keluwesan dalam menjalankan perannya. Ruang kelas yang semestinya hangat dan humanis, perlahan bisa berubah jadi ruang formal yang penuh kehati-hatian dingin.

Guru ragu menegur pelanggaran karena takut diadukan. Mereka segan menasihati, khawatir dianggap melampaui batas. Perhatian sederhana pun bisa menimbulkan was-was.


Halaman:

Komentar