"Kalau itu penelitian yang bermaksud jadi produk akademik, datanya harus dilindungi," ucapnya.
Ia menegaskan, produk akademik tidak hidup di ruang hampa. Ada kaidah keilmuan yang harus dipatuhi, sekaligus untuk melindungi hak orang lain. Semua ini, imbuhnya, sudah diatur dalam norma dan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka dibagi dalam dua klaster.
Klaster pertama berisi nama-nama seperti Ketua TPUA Eggi Sudjana, anggota Kurnia Tri Royani, pengamat Damai Hari Lubis, mantan aktivis Rustam Effendi, dan Wakil Ketua TPUA Muhammad Rizal Fadillah.
Sementara di klaster kedua, ada pakar telematika Roy Suryo, ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar, serta dokter Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai dr. Tifa.
Meski tak ditahan, kedelapan tersangka ini sudah dilarang bepergian ke luar negeri. Mereka dijerat dengan sejumlah pasal.
Kelompok pertama dijerat Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 160 KUHP, serta beberapa pasal dalam UU ITE. Sementara klaster kedua menghadapi Pasal 310 dan 311 KUHP, ditambah beberapa pasal lain dari UU ITE yang berbeda.
Kasus ini masih terus berkembang. Dan pernyataan polisi soal status buku tersebut sebagai 'bukan karya ilmiah' jelas memberi warna baru.
Artikel Terkait
Serdam Berkibar: Pusat Kuliner Baru Resmi Diresmikan, Dukung 180 UMKM Kubu Raya
Ramalan Wanda Hamidah di Pilpres 2014: Dulu Ditertawakan, Kini Makin Nyata
Tiga Dekade Menggelinding, Khambec C70 Pontianak Rayakan Ikatan Lintas Generasi
Muatan Besi Tiga Ton Tewaskan Sopir dan Kernet di Cilincing