Antara Janji dan Realita: Refleksi Akhir Tahun yang Tak Sampai ke Warga

- Minggu, 21 Desember 2025 | 06:25 WIB
Antara Janji dan Realita: Refleksi Akhir Tahun yang Tak Sampai ke Warga

EDITORIAL JAKARTASATU: Menutup Tahun dengan Kejujuran

Ritual akhir tahun selalu berulang. Laporan capaian, klaim keberhasilan, optimisme yang digaungkan. Grafik-grafik menanjak, angka-angka disusun rapi. Tapi coba tengok ke luar. Realitas yang dijalani publik sehari-hari seringkali jauh lebih berantakan dan kompleks. Di sini, pertanyaan pentingnya muncul: sebenarnya, seberapa jauh sih janji-janji kebijakan itu benar-benar nyampe ke hidup warga?

Kalau bicara program dan regulasi, tahun ini memang tidak kekurangan. Pemerintah terus menyuarakan transformasi digital, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan. Namun bagi banyak keluarga, persoalan yang menghimpit tetap itu-itu saja. Biaya hidup yang makin menggila, sulitnya dapat pekerjaan layak, dan layanan publik yang belum merata. Nah, ketika narasi besar dari atas sama sekali nggak nyambung dengan pengalaman di bawah, yang terjadi adalah erosi kepercayaan. Dan itu mahal harganya.

Ambil contoh yang paling terasa: tekanan biaya hidup. Harga pangan, sewa rumah, biaya sekolah semuanya naik. Beban ini terasa berat, terutama buat kalangan menengah ke bawah. Memang ada bantuan sosial, tapi sifatnya kerap reaktif dan cuma untuk jangka pendek. Masyarakat butuh lebih dari sekadar bantuan sesaat. Mereka butuh kepastian. Harga yang stabil, upah yang manusiawi, perlindungan dari gejolak ekonomi global yang tak bisa ditebak. Tanpa itu semua, angka pertumbuhan ekonomi cuma akan jadi statistik di kertas, bukan kesejahteraan yang dirasakan.

Di sisi lain, dunia ketenagakerjaan juga penuh paradoks.

Lapangan kerja tercipta, iya. Tapi kualitasnya? Banyak anak muda sekarang terjebak dalam pekerjaan kontrak jangka pendek, dengan upah pas-pasan dan jaminan sosial yang minim. Gig economy memang tumbuh pesat, sayangnya regulasi dan perlindungan untuk pekerjanya justru tertinggal jauh. Negara seharusnya hadir bukan untuk membunuh inovasi, tapi untuk memastikan bahwa fleksibilitas kerja tidak dibayar dengan kerentanan hidup.

Lalu ada transformasi digital. Ini pedang bermata dua. Di satu sisi, layanan publik jadi lebih cepat dan transparan berkat teknologi. Tapi di sisi lain, kesenjangan digital masih nyata banget. Akses internet, kemampuan literasi digital, dan keamanan data belum merata. Kalau kebijakannya tidak inklusif, digitalisasi malah berisiko memperlebar jurang antara yang melek teknologi dan yang tertinggal. Belum lagi soal ruang digital yang kerap dipenuhi misinformasi dan ujaran kebencian. Ini menuntut kehadiran negara yang tegas tapi proporsional bisa melindungi kebebasan berekspresi, tapi juga menjaga kualitas ruang publik kita.


Halaman:

Komentar