Mereka bercerita. Mengeluarkan unek-unek, menyampaikan kebutuhan yang mendesak. Dan Teddy, Letkol TNI itu, dengan serius mencatat setiap poin yang disampaikan. Gerakannya cepat, tapi penuh perhatian. Buku kecil di tangannya menjadi alat penghubung yang nyata antara warga dan pemerintah.
Menurut sejumlah saksi, interaksi itu berlangsung natural. Tidak kaku. Teddy terlihat mendengarkan dengan kepala sedikit tertunduk, sesekali mengangguk, lalu menulis. Ia tidak berjanji muluk-muluk, hanya memastikan keluhan itu terdokumentasi.
Di tengah situasi bencana yang serba tidak pasti, tindakan sederhana seperti mencatat ternyata punya arti. Bagi warga, itu tanda bahwa suara mereka didengar. Bukan sekadar kunjungan formal, tapi ada upaya nyata untuk menampung aspirasi.
Memang, mencatat saja tidak cukup. Tapi setidaknya, itu langkah awal yang penting. Dan pada hari Kamis yang mendung di Agam itu, buku catatan kecil itu menjadi simbol kecil dari harapan.
Artikel Terkait
Pohon Tumbang Terguling, Dua Mobil Hancur di Depan Bandara Bali
Dukungan UMKM di Jalan Dr Susilo Berujung Macet Panjang
Tiang Listrik Miring di Pesawaran, Warga Cemas Ancaman Roboh
Euromaidan: Revolusi Rakyat atau Kudeta yang Dikendalikan?