KPK: Antara Misi Pemberantasan dan Kecurigaan sebagai Alat Politik

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 11:25 WIB
KPK: Antara Misi Pemberantasan dan Kecurigaan sebagai Alat Politik

KPK: Milik Siapa dan Berpihak untuk Siapa?

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, Executive Director HIAWATHA Institute

Dulu, saat pertama kali muncul, Komisi Pemberantasan Korupsi dielu-elukan bak malaikat penyelamat. Ia jadi simbol pemberani, harapan terakhir buat keadilan, dan senjata pamungkas untuk memutus rantai korupsi yang sudah menggurita. Tapi, sejarah punya caranya sendiri untuk mengingatkan kita. Tak ada institusi yang lahir dari ruang hampa. Dan mustahil ada kekuasaan yang benar-benar netral, tanpa embel-embel kepentingan di belakangnya.

Lalu, muncul pertanyaan yang menggelitik dan tak bisa dihindari: "KPK itu sebenarnya milik siapa? Dan dia bekerja untuk kepentingan siapa?"

Mari kita tilik awal mulanya. Gagasan soal lembaga superbody antikorupsi ini sebetulnya bukan murni buah pikiran dari dalam negeri. Pasca-reformasi, Indonesia sedang dalam kondisi limbung. Krisis ekonomi bercampur dengan utang luar negeri yang menumpuk. Ketergantungan pada lembaga donor internasional saat itu sangat tinggi. Berbagai "resep" dari Barat pun masuk, diterima hampir tanpa filter.

Nah, dalam atmosfer seperti itulah proposal pembentukan KPK mengemuka. Ini bukan barang baru di percaturan global. Ia adalah produk standar dari narasi good governance yang didorong oleh negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat. Jaringannya luas, mencakup lembaga donor, konsultan hukum, sampai program pelatihan untuk elite-elite negara berkembang.

Proposal itu kemudian "dititipkan". Penerimanya adalah anak-anak ideologis mereka: para pejabat, teknokrat, dan politisi yang pernah digembleng dalam sistem pendidikan Barat dan kelak menduduki posisi strategis. Jadilah KPK lahir. Secara hukum sah. Di mata publik, dia dipuja. Tapi secara geopolitik, benarkah dia steril dari kepentingan asing? Rasanya sulit.

Dalam perjalanannya, KPK berkembang menjadi lebih dari sekadar penegak hukum. Dia berubah menjadi semacam mesin pemotong karier yang sangat efektif. Tajam, cepat, dan sering kali meninggalkan ruang pembelaan yang sangat sempit. Lantas, siapa yang biasanya jadi sasaran? Bukan selalu yang paling korup. Tapi lebih sering, mereka yang dianggap tidak sejalan dengan arus kepentingan besar yang sedang bermain.

Lihat saja. Pejabat yang vokal menolak privatisasi, atau yang berani bersuara soal kedaulatan ekonomi nasional, kerap tiba-tiba "tersandung kasus". Proses hukum berjalan dengan cepat. Opini publik dibentuk. Dan dalam sekejap, karirnya hancur berantakan. Publik pun bersorak, mengira itu bukti KPK bekerja dengan baik.


Halaman:

Komentar