“Ini bencana lintas provinsi. Tiga provinsi terdampak serentak, korban jiwa besar, dan daerah sangat bergantung pada bantuan pusat. Secara karakter, ini sudah bencana nasional.”
Pernyataan itu datang dari Prof. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si., Guru Besar Fakultas Geografi UMS yang juga pengurus Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI). Ia menyampaikannya di ruang kerjanya, Jumat lalu (19/12). Argumennya sederhana: skala dan kompleksitas bencana ini sudah jauh melampaui kemampuan daerah.
Di sisi lain, tekanan dari masyarakat sipil juga menguat. Sebuah koalisi bahkan telah melayangkan somasi resmi kepada Presiden Prabowo. Intinya, mereka mendesak agar Status Darurat Bencana Nasional segera ditetapkan. Tanpa status itu, mereka khawatir koordinasi dan aliran bantuan akan tetap tersendat, sementara waktu terus berjalan meninggalkan penderitaan.
Gambaran di lapangan memang suram. Foto-foto yang beredar menunjukkan pemandangan yang memilukan: rumah-rumah tersapu lumpur, jalan raya berubah menjadi sungai keruh, dan wajah-wajah lelah para pengungsi yang menanti bantuan.
Gambar: Sebuah jalan provinsi di Sumatera Barat yang putus total diterjang banjir bandang.
Gambar: Warga mengungsi membawa barang seadanya di sebuah posko darurat di Aceh Tengah.
Gambar: Relawan berusaha mengevakuasi korban yang terjebak di atap rumahnya.
Jadi, kita kembali ke pertanyaan awal. Dengan segala kerusakan dan penderitaan yang ada, mengapa status yang diharapkan bisa mempercepat penanganan ini masih juga belum keluar? Warga di lokasi bencana mungkin hanya bisa bertahan, dan berharap, sambil menatap langit yang masih kerap mendung.
Artikel Terkait
Bantuan UEA untuk Korban Banjir Medan Ditarik Paksa Usai Tekanan Pusat
Gerakan Rakyat Desak Pemerintah: 1.068 Nyawa Bukan Angka, Tetapkan Bencana Nasional Sekarang!
KSAD Maruli Minta Media Tak Langsung Ekspos Kekurangan Penanganan Bencana
Duka dan Kecemasan di Perumahan BBS 3 Cilegon Usai Bocah Politisi Ditemukan Tewas dengan 22 Luka