Satya Budaya Nalendra: Tujuh Pilar Budaya dan Peran Unik Jaya Suprana sebagai Penggagas

- Kamis, 18 Desember 2025 | 16:50 WIB
Satya Budaya Nalendra: Tujuh Pilar Budaya dan Peran Unik Jaya Suprana sebagai Penggagas

Nah, dalam konteks anugerah Satya Budaya Nalendra ini, peran Suprana sebagai penggagas makin relevan. Ia bukan cuma menjaga nilai yang udah ada. Lebih dari itu, ia kerap melempar pertanyaan-pertanyaan mendasar: soal keadilan, martabat, akal sehat, dan tentu saja keberanian moral. Ia nggak selalu kasih jawaban final. Tujuannya justru membuka ruang diskusi, seringkali pakai ironi dan humor yang cerdas, biar kritiknya nancep tapi nggak bikin sakit hati. Dan ya, jangan lupa, ia juga yang mencetuskan MURI, yang mendorong elemen-elemen budaya untuk terus berpacu.

Penganugerahan ini juga bawa pesan penting: kebudayaan Indonesia hidup karena kerja bareng-bareng. Nggak ada yang berdiri sendiri. Para penerima penghargaan ini membuktikan bahwa budaya bisa dirawat lewat banyak jalan seni, pemikiran, pendidikan, sejarah, sampai kepemimpinan nilai. Dalam kebersamaan itulah makna kebudayaan menemukan keutuhannya.

Momentum ini jadi pijakan yang pas untuk kehadiran buku Sang Penggagas – Jaya Suprana yang rencananya bakal terbit. Buku ini nggak dimaksudin sebagai penobatan individual, lho. Lebih sebagai pembacaan mendalam atas peran seorang pemikir di tengah ekosistem kebudayaan yang lebih luas. Ia akan merekam perjalanan gagasan, kegelisahan intelektual, sampai keberanian moral yang selama ini ditawarkan Suprana ke publik.

Judul "Sang Penggagas" sendiri merujuk pada peran strategis yang sering luput dari perhatian. Buku itu nantinya akan jadi semacam legacy. Soalnya, penggagas itu bukan yang paling lantang, tapi yang berani memulai percakapan yang nggak nyaman. Di dunia yang makin cepat dan pragmatis ini, keberanian untuk berpikir mendalam itu sendiri udah jadi bentuk pengabdian. Di situlah posisi Jaya Suprana berdiri, sejajar dan saling menguatkan dengan para penerima Satya Budaya Nalendra lainnya.

Pada akhirnya, anugerah ini bukan garis finish. Ia lebih ke penanda reflektif jeda sejenak buat menengok jalan yang udah ditempuh, sekaligus pengingat bahwa tugas kebudayaan itu nggak pernah berhenti. Selama bangsa ini masih bertanya tentang makna, identitas, dan martabat, selama itu pula peran para penggagas dan penjaga budaya akan tetap dibutuhkan.

Buku Sang Penggagas – Jaya Suprana nanti hadir bukan cuma sebagai bacaan. Ia adalah undangan intelektual dan kultural: untuk membaca Indonesia melalui mata seorang pemikir yang mencintai bangsanya dengan cara yang kritis, jujur, dan berani. Buku itu mengajak kita semua paham, bahwa kebudayaan bukan warisan mati. Ia adalah kerja hidup kerja bersama yang menuntut kesadaran, keberanian, dan tanggung jawab kita, lintas generasi. Tabik.

-AENDRA MEDITA


Halaman:

Komentar