Ada yang menerimanya seperti durian runtuh, sampai-sampai internal ormas terpecah belah. Ada yang waras, memilih menolak.
"Maaf, kami tak ikutan. Ngurus umat saja sudah susah," kira-kira begitu alasannya.
Ada juga yang budek, seolah di dalam hutan itu menumpuk emas yang harus segera dikeruk.
Penolakan ini punya dasar. JATAM dan WALHI sejak awal mengecam kebijakan ini sebagai obral konsesi dan politik balas budi. Mereka mencium bau konflik lahan, kerusakan lingkungan, plus politisasi agama. Pertanyaannya menganga: kalau tambang dikelola ormas, siapa yang bakal mengawasi? Kepada siapa masyarakat bisa menuntut ketika sungai tercemar dan tanah adat retak?
Di sinilah konspirasi itu terasa utuh. Pencabutan izin lama ternyata cuma membuka jalan bagi izin baru. Dari korporasi ke korporasi, dari perusahaan ke ormas. Secara formal, negara tampak tegas. Secara substantif? Nyaris tak ada izin yang benar-benar mati. Yang ada cuma ganti kepemilikan. Hutan tetap dipandang sebagai objek ekonomi yang sah untuk dilubangi.
Padahal, undang-undang sebenarnya punya senjata lain: pidana. Ada ancaman 10-15 tahun penjara bagi pengurus korporasi berdasarkan prinsip corporate liability dalam UU Minerba dan UU PPLH. Tapi senjata ini jarang sekali ditembakkan. Kasus Raja Ampat 2025 sempat membuka peluang, namun hingga akhir tahun, para pemiliknya tetap aman terlindungi badan usaha dan jejaring kuasa. Yang dihukum cuma entitas abstrak, bukan orang-orang yang mengambil keputusan.
Jadi, lingkaran setan ini terus berputar. Pencabutan izin, penawaran WIUPK ke ormas, dan narasi pemberdayaan ekonomi semuanya menyatu dalam satu siklus. Mirip aliran sungai di hutan hujan, berkelok-kelok, tertutup kanopi, tapi ujung-ujungnya sama: bermuara ke laut eksploitasi.
Selama objeknya tetap lahan hutan yang harus dikeruk, selama tambang hanya berpindah tangan tanpa perubahan paradigma, semua ini tak lebih dari drama pergantian pemain. Bukan perubahan cerita.
Hingga akhir 2025, pertanyaan besarnya masih menggantung: apakah negara sedang mendistribusikan keadilan, atau sekadar mendistribusikan izin kehancuran dengan wajah baru? Kadang korporasi, kadang ormas. Kadang dibungkus moral, kadang dibungkus hukum.
Hutan tropis kita sepertinya sudah tahu jawabannya. Ia tak peduli siapa pemilik izinnya. Baginya, setiap izin yang sah untuk mengeruk adalah sebuah vonis. Dan vonis itu, sejauh ini, selalu berakhir sama.
(Ketua Satupena Kalbar)
Artikel Terkait
Trump Desak Ukraina Segera Akhiri Perang, Sebut Rusia Sudah Siap
KPK Amankan Bupati Bekasi dalam Operasi Dini Hari
Ketika Uang Berhenti Bergerak: Dilema Ekonomi di Tengah Gelombang Pesimisme
Rusia Ingatkan Trump Soal Venezuela: Jangan Lakukan Kesalahan Fatal