Tapi, cerita kemakmuran ini punya bayangan gelap. Alam Bromo mulai terbebani.
Rudijanta mengakui, ekosistem taman nasional mulai menunjukkan tanda-tanda degradasi. Lalu lintas jip yang sangat padat di kawasan Lautan Pasir memicu degradasi lahan, bahkan banjir. "Aktivitas jalur kendaraan di padang rumput, khususnya di sekitar Lembah Watangan, terpotong-potong seperti jaring laba-laba," tuturnya. Kondisi itu jelas mengganggu keseimbangan ekosistem.
Menyikapi hal ini, pengelola tak tinggal diam. Sebuah rencana penataan sedang digodok, yakni pembangunan Jalan Lingkar Kawasan Tengger (JLKT). Konsepnya bukan membangun jalan aspal, melainkan membuat jalur khusus dengan patok pembatas di kiri dan kanan, selebar 25 meter dan sepanjang 12,5 kilometer yang membentang di tiga kabupaten.
"Kami tidak membangun jalan, tetapi hanya memberikan batas," jelas Rudijanta. "Jalur ini hanya untuk kendaraan. Penunggang kuda dan pejalan kaki tidak termasuk."
Rencana ini, katanya, sudah didiskusikan dengan pelaku usaha dan masyarakat Tengger. Selain jalur khusus, akan dibangun tiga rest area di sekitar Savana Padang Rumput dan Lautan Pasir untuk parkir dan istirahat. Warung-warung yang bertebaran juga akan direlokasi ke sana, dengan bangunan yang disediakan taman nasional, lengkap dengan toilet dan fasilitas minimal lainnya.
Harapannya jelas: geliat ekonomi bisa terus berdenyut, tapi keramahan Bromo pada pengunjung tak lagi harus dibayar dengan kerusakan alam yang semakin parah.
Artikel Terkait
Atasan Minta Pakai Topi Sinterklas, Ini Sikap yang Bisa Diambil
MK Kabulkan Gugatan Musisi, Penyelenggara Pertunjukan Wajib Bayar Royalti
Analis Politik: Prabowo-Gibran Dinilai Lanjutkan Warisan Buruk Jokowi
Prabowo Gaungkan Ekspansi Sawit: Dari Sumatera hingga Papua, Bukan Cuma Minyak Goreng