Polisi di Kursi Sipil: Birokrasi Terluka, Meritokrasi Terpinggirkan

- Rabu, 17 Desember 2025 | 08:25 WIB
Polisi di Kursi Sipil: Birokrasi Terluka, Meritokrasi Terpinggirkan

Polisi di Jabatan Sipil: Luka di Hati Birokrasi

Oleh: Djohermansyah Djohan

Isu lama itu kembali mencuat. Penempatan anggota polisi aktif dalam jabatan-jabatan sipil, lagi-lagi, memantik perdebatan yang tak kunjung usai. Ini bukan cuma soal teknis pengisian lowongan kerja. Lebih dalam lagi, praktik semacam ini menyentuh prinsip-prinsip dasar tata kelola negara yang demokratis. Mulai dari supremasi sipil, meritokrasi, sampai netralitas birokrasi jelang pemilu.

Di negara demokrasi mana pun, birokrasi sipil adalah tulang punggung pemerintahan. Ia berdiri di atas fondasi profesionalisme, karier berjenjang, dan kompetensi murni. Bayangkan, ketika posisi-posisi strategis justru diisi oleh polisi yang masih aktif. Yang terluka bukan sekadar perasaan para ASN. Arsitektur pemerintahan kita sendiri yang jadi taruhannya.

Supremasi Sipil yang Mulai Kabur

Reformasi 1998 dulu punya pesan jelas: pisahkan fungsi sipil dan fungsi keamanan. Polri punya mandat menegakkan hukum, menjaga keamanan. Bukan mengurusi birokrasi. Nah, ketika polisi aktif duduk di kursi jabatan sipil dan masih tetap berkostum biru terjadi apa? Tumpang-tindih kewenangan. Itu berbahaya.

Supremasi sipil itu bukan jargon kosong. Ia mekanisme pengendali, agar aparat bersenjata tidak punya loyalitas ganda. Pada institusi asalnya dan pada jabatan barunya. Kalau garis ini samar, risiko konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang terbuka lebar.

Meritokrasi, Terluka

Ini yang paling menyakitkan bagi para ASN. Sistem merit di birokrasi kita dibangun bertahun-tahun dengan susah payah. Lewat pendidikan, pelatihan, seleksi ketat. Tiba-tiba, posisi puncak diambil orang dari luar sistem. Pesannya jelas: semua jerih payahmu itu tak lagi jadi jaminan.

Akibatnya bisa ditebak: demotivasi. Aparatur sipil, yang seharusnya jadi penggerak utama, malah merasa jadi tamu di rumah sendiri. Dalam jangka panjang, siapa yang rugi? Pelayanan publik dan kapasitas negara kita.

Sejarah seolah berulang. Kita masih ingat era dwi-fungsi ABRI, di mana tentara masuk ke segala lini kehidupan sipil. Pengalaman pahit itu menunjukkan, dominasi aparat keamanan justru melahirkan birokrasi yang kaku, tertutup, dan jauh dari kontrol publik.


Halaman:

Komentar