Oleh: Rosadi Jamani
Permintaan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) untuk menggalang bantuan internasional tampaknya belum cukup menggoyahkan sikap Presiden Prabowo Subianto. Di Jakarta, Presiden bersikukuh. Status bencana nasional, katanya, tak diperlukan.
Alasannya? Situasi masih terkendali. Cuma tiga provinsi yang terdampak dari total 38 provinsi di Indonesia. Negara ini, tegasnya, mampu menangani sendiri.
Namun begitu, pernyataan itu seperti hidup di ruang yang berbeda dengan kenyataan di lapangan. Data resmi BNPB per 16 Desember 2025 mencatat fakta yang lebih kelam: korban jiwa sudah mencapai 1.030 orang. Angka itu bukan sekadar statistik. Itu adalah ayah, ibu, anak, dan saudara yang hilang.
Aceh menanggung beban terberat dengan 431 kematian. Sumatera Utara menyusul di angka 355, dan Sumatera Barat 244. Ceritanya tak berhenti di situ. Masih ada 206 orang dinyatakan hilang nasib mereka menggantung, meninggalkan keluarga dalam ruang hampa antara harap dan cemas.
Di tengah situasi seperti ini, klaim "terkendali" terasa hambar. Bahkan mungkin kehilangan makna. Bagaimana tidak? Selain korban tewas, sekitar 7.000 orang luka-luka. Lebih dari 624.000 jiwa terpaksa mengungsi. Dan bayangkan, 186.488 rumah rusak. Jumlah yang fantastis, seolah-olah cukup untuk membangun sebuah kota kecil dari nol.
Negara memang sudah bergerak. Tapi dampaknya luar biasa luas. Pelayanan publik ikut kolaps. 219 fasilitas kesehatan terdampak, justru saat warga paling membutuhkannya. 967 sekolah dan tempat belajar rusak anak-anak terpaksa belajar dari bencana itu sendiri. 434 rumah ibadah ikut terdampak. Belum lagi 290 gedung perkantoran dan 145 jembatan yang ambruk, memutus akses dan mengacaukan hidup warga.
Di sinilah kontrasnya muncul. Sementara pemerintah pusat menegaskan kemandirian dan martabat bangsa, Gubernur Aceh justru mengirim surat permohonan bantuan ke UNDP dan UNICEF. Bagi Aceh, dua lembaga PBB ini bukan nama asing. Mereka adalah mitra penyelamat yang pernah hadir nyata pasca tsunami 2004.
Permintaan Mualem bukanlah sandiwara politik. Ini jeritan dari lapangan. Infrastruktur hancur. Pengungsian penuh sesak. Logistik dan layanan dasar nyaris tak mampu lagi menahan beban. Faktanya, bantuan dari Malaysia dan China sudah mulai mengalir masuk. Relawan internasional pun bersiap.
Jadi, ada dua narasi yang bertolak belakang. Dari Jakarta, suaranya: kita bisa sendiri. Dari Aceh, gemanya: kami butuh pertolongan. Yang satu bicara kapasitas dan kedaulatan. Yang lain bicara tentang betapa rapuhnya manusia di hadapan musibah skala besar. Kedua suara itu punya alasan, tapi sepertinya tidak sedang membicarakan penderitaan yang sama.
Artikel Terkait
PM Albanese Kunjungi Pahlawan Bondi, Ungkap Motif ISIS di Balik Teror
Duka di Rumah Mewah Cilegon: Bocah 9 Tahun Tewas Ditikam dalam Perampokan
Formula Baru Pengupahan Prabowo: Jalan Tengah yang Dinilai Moderat
Cilegon Tenggelam: Banjir Setinggi Rel Kereta Lumpuhkan Permukiman