Mantan Pejabat BUMN Buka Suara: Penguasa Sebenarnya Ada di PIK

- Rabu, 17 Desember 2025 | 06:25 WIB
Mantan Pejabat BUMN Buka Suara: Penguasa Sebenarnya Ada di PIK

Dalam sistem yang dikuasai oligarki, kebijakan publik sering kehilangan ruhnya. Lihat saja undang-undang, regulasi, hingga anggaran negara. Tidak lagi sepenuhnya dirancang untuk menjawab kebutuhan orang banyak, melainkan untuk menjaga stabilitas dan keuntungan kelompok tertentu. Bahasanya tetap normatif "demi pertumbuhan", "demi stabilitas nasional" tapi substansinya? Sering menyisakan ketidakadilan. Rakyat jadi objek, bukan subjek yang dilibatkan secara bermakna.

Di sisi lain, demokrasi yang seharusnya menjadi penawar justru rentan disusupi. Pemilu berlangsung, ya. Tapi biaya politik yang mahal membuat hanya mereka dengan akses modal besar yang benar-benar bisa bersaing. Permainan pun dimainkan. Media massa, yang mestinya jadi ruang kritik, kerap dimiliki atau dipengaruhi oleh elite yang sama. Akibatnya, demokrasi berubah jadi prosedur tanpa jiwa: rakyat memilih, tapi pilihan mereka sudah diarahkan jauh sebelumnya.

Dampak lainnya terhadap keadilan sosial juga nyata. Sumber daya ekonomi yang dikuasai segelintir orang membuat kesenjangan jadi keniscayaan. Kesempatan tidak lagi ditentukan kemampuan atau kerja keras, melainkan oleh kedekatan dengan pusat kekuasaan. Mobilitas sosial mandek. Rasa keadilan perlahan terkikis. Lama-lama, ini melahirkan frustrasi kolektif perasaan bahwa sistem tak pernah benar-benar berpihak.

Lebih parah lagi, oligarki cenderung melahirkan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penegakannya menjadi selektif, berdasarkan relasi, bukan prinsip. Korupsi pun berubah dari penyimpangan jadi mekanisme. Bukan lagi tindakan individu, tapi bagian dari cara sistem bekerja. Pada titik ini, negara berisiko kehilangan legitimasi moralnya, meski secara formal masih tegak berdiri.

Namun begitu, yang paling mengkhawatirkan sebenarnya adalah dampaknya terhadap imajinasi kita akan masa depan. Ketika kekuasaan dan peluang dikunci oleh segelintir orang, masyarakat kehilangan harapan bahwa perubahan itu mungkin. Inovasi terhambat. Gagasan baru dicurigai. Kritik dianggap ancaman. Negara pun jalan di tempat, bukan karena kurang potensi, tapi karena potensi itu dibelenggu oleh struktur yang menolak perubahan.

Melawan oligarki memang bukan perkara gampang. Musuhnya sering tak terlihat jelas, bersembunyi di balik jargon stabilitas dan pertumbuhan. Karena itu, perlawanan tak harus selalu berupa revolusi. Bisa dimulai dari kesadaran kolektif yang tumbuh pelan-pelan: tuntutan transparansi, penguatan institusi hukum, pendidikan politik yang kritis, dan keberanian publik untuk mengawasi kekuasaan.

Pada akhirnya, bahaya oligarki bukan cuma kerugian material. Ia menggerogoti makna keadilan dan demokrasi itu sendiri. Ia membuat ketimpangan terasa normal dan ketidakadilan tampak tak terelakkan. Di sinilah tantangan terberat sebuah bangsa: menjaga agar kekuasaan tetap menjadi alat untuk melayani, bukan hak istimewa untuk menguasai.

Editorial ini adalah pengingat. Demokrasi tidak pernah selesai. Ia harus terus diperjuangkan, dirawat, dan dijaga agar tidak perlahan-lahan berubah menjadi sekadar bayang-bayang dari dirinya sendiri. Pertanyaannya kini, jika kekuasaan nyata memang penuh bayang-bayang oligark, lalu akan dibawa ke mana Indonesia nanti?


Halaman:

Komentar