Kedua, coba tangkap perasaannya, jangan cuma fakta masalah. Saat anak bilang "aku capek, Ma", yang dia butuhin mungkin cuma validasi sederhana. Cukup dengan bilang, "Wah, pasti hari ini melelahkan ya sayang." Dari sini, anak belajar bahwa emosinya diterima.
Ketiga, hindari kalimat yang membuat anak merasa dicap. Kayak "kamu tuh selalu…" atau "dari kecil emang begitu". Kalimat begini bikin anak merasa dilabeli, bukan dipahami. Perlahan, keinginan untuk terbuka pun menguap.
Keempat, jaga kepercayaan itu seperti harta karun. Cerita anak bukan untuk jadi bahan gosip keluarga besar, apalagi bahan lelucon. Sekali rahasia bocor, yang rusak bukan cuma komunikasi, tapi fondasi kepercayaan yang udah dibangun.
Kelima, orang tua juga manusia. Belajar meminta maaf itu perlu. Minta maaf bukan tanda lemah, justru itu bukti kedewasaan. Anak yang lihat orang tuanya berani mengakui salah, akan tumbuh lebih berani juga untuk jujur.
Terakhir, jangan tunggu ada masalah baru dekat. Bangun komunikasi lewat obrolan ringan dan perhatian kecil sehari-hari. Itu investasi terbaik buat kepercayaan jangka panjang.
Intinya, ketika anak memilih diam, itu bukan karena mereka nggak punya cerita. Tapi karena mereka nggak nemu tempat yang nyaman untuk bercerita.
Ini semua adalah ajakan untuk sedikit introspeksi. Kedekatan emosional dibangun dari rasa aman, dari empati, dan dari kesediaan mendengar dengan tulus bukan dari otoritas atau gelar "orang tua".
Kalau orang tua bisa benar-benar hadir sebagai pendengar, anak nggak akan lari ke tempat lain. Pada akhirnya, rumah akan jadi tempat paling nyaman untuk pulang. Termasuk pulang membawa cerita dan perasaan yang paling rentan sekalipun.
Artikel Terkait
Gubernur Pramono Anung Raih Penghargaan untuk Komitmen Keadilan di Jakarta
Edy Mulyadi: Kepercayaan Publik kepada Prabowo di Ujung Tanduk
Ayah Gugat Dua Perwira TNI Usai Anaknya Tewas Dikeroyok Senior
Mantan Bupati Sleman Diadili, Dana Hibah Pariwisata Dituding Dijadikan Mesin Suara