Ruang Rapat Tertutup dan Misteri Dana Sosial yang Raib

- Rabu, 17 Desember 2025 | 00:50 WIB
Ruang Rapat Tertutup dan Misteri Dana Sosial yang Raib

Skandal Dana CSR BI-OJK: Pintu Tertutup, Uang Menguap, dan Ancaman Tahanan yang Tak Kunjung Datang

Bayangkan sebuah ruang rapat tertutup. Di dalamnya, orang-orang berseragam jas rapi yang seharusnya mengawasi justru menyepakati aliran uang dari lembaga yang diawasinya. Dana itu berlabel mulia: program sosial. Tapi uang itu tak pernah menyentuh tanah. Ia lenyap, berubah wujud jadi rumah makan, tanah kosong, mobil mewah, dan angka-angka dingin di rekening deposito. Begitulah kira-kira awal cerita skandal yang kini mengguncang dunia keuangan kita.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bergerak. Dua anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024, Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori (NasDem), kini berstatus tersangka. Mereka diduga terlibat korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara hingga Rp 28,38 miliar. Skemanya terlihat rapi, sistematis. Dan yang paling menyakitkan, ia menggerogoti makna sesungguhnya dari tanggung jawab sosial sebuah lembaga.

Rapat Formal, Kesepakatan Gelap

Semua berawal dari kewenangan eksklusif Komisi XI. Mereka punya hak untuk menyetujui anggaran tahunan BI dan OJK. Nah, dalam proses itu, dibentuklah Panitia Kerja. Heri dan Satori ada di dalamnya. Rapat-rapat resmi di tahun 2020, 2021, dan 2022 berjalan seperti biasa. Tapi pertemuan yang sesungguhnya, menurut KPK, terjadi di balik pintu tertutup.

Di sanalah "kesepakatan" itu lahir. Sebuah skema yang memaksa BI dan OJK menyediakan dana program sosial dengan sistem kuota untuk tiap anggota komisi. BI diwajibkan memberi sekitar 10 program per tahun, sementara OJK lebih banyak lagi, 18 sampai 24 program. Lalu, dana itu dicairkan lewat yayasan-yayasan yang dikelola anggota dewan atau orang kepercayaan mereka.

Secara teknis, semua terlihat prosedural. Staf ahli bertemu dengan perwakilan BI/OJK untuk urusan proposal, pencairan, dan laporan pertanggungjawaban. Namun, KPK menemukan kenyataan pahit. Kegiatan sosial dalam proposal itu fiktif. Atau paling tidak, tak pernah dilaksanakan. Uang mengalir deras, tapi masyarakat tak kebagian setetes pun.

Heri Gunawan diduga menerima Rp 15,86 miliar dari BI, OJK, dan mitra kerja komisi lainnya. Sementara Satori dapat Rp 12,52 miliar. Uang yang seharusnya untuk pemberdayaan itu, kata KPK, dialihkan untuk kepentingan pribadi. Heri membangun rumah makan, mengelola bisnis minuman, beli tanah dan mobil. Satori pakai untuk deposito, tanah, bangun showroom, dan aset lainnya. Bahkan ada dugaan rekayasa transaksi perbankan untuk menyamarkan aliran dana ini.

CSR untuk Lembaga Negara? Sebuah Pertanyaan Mendasar

Nah, di tengah gemuruh kasus ini, ada pertanyaan mendasar yang mengemuka. Sebenarnya, pantaskah BI dan OJK punya "dana CSR"?

Banyak ahli angkat bicara. Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, misalnya, menegaskan bahwa BI dan OJK bukan perusahaan. Mereka lembaga negara. Jadi, tak ada kewajiban hukum bagi mereka untuk menyalurkan dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau CSR seperti yang diatur undang-undang untuk Perseroan Terbatas. Kewajiban itu cuma untuk perusahaan yang cari laba.

Istilah "CSR" sendiri dinilai tidak tepat. Program pemberdayaan masyarakat oleh lembaga negara lebih cocok disebut tanggung jawab sosial kelembagaan atau program pengabdian masyarakat. Itu bagian dari mandat mereka untuk mendukung stabilitas ekonomi. BI punya Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), OJK punya program edukasi keuangan.


Halaman:

Komentar