Oleh: Jaka Ranggas Maulana
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Munasabah Ayat: Dari Ancaman Menuju Harapan
Kalau kita tilik, para ahli tafsir sebenarnya tak punya riwayat spesifik soal sebab turunnya ayat 133 surat Ali Imran ini. Tapi, kalau diamati baik-baik, posisinya dalam susunan ayat punya makna yang dalam. Ayat ini muncul setelah rentetan panjang yang menggambarkan nasib buruk orang-orang kafir dan pelaku maksiat.
Menurut al-Ṭabarī, ini semacam peralihan nada. Setelah peringatan keras, Allah lalu menghadirkan dorongan. Sebuah ajakan lembut agar orang beriman tak patah arang, melainkan justru makin bersemangat menuju ampunan-Nya.
Ibn Kathīr melihatnya sebagai sebuah keseimbangan. Setelah tarhīb (ancaman), datanglah targhīb (janji indah). Strategi Al-Qur’an ini cerdas sekali. Tujuannya jelas: agar manusia tidak tenggelam dalam keputusasaan, tapi bangkit dan bergegas melakukan kebaikan.
Al-Rāzī punya sudut pandang lain. Baginya, ini soal menampilkan kesempurnaan sifat Allah. Setelah menegaskan keadilan-Nya yang membalas kezaliman, di sini ditegaskan pula keluasan rahmat dan ampunan-Nya. Dua sisi yang tak terpisahkan.
Jadi, keterkaitan ayat ini bukan cuma urutan belaka. Lebih dari itu, ia membentuk kerangka teologis yang utuh. Bagaimana seorang mukmin mesti menyikapi antara rasa takut dan harap.
Sementara al-Qurṭubī menambahkan, pola penyampaiannya bertahap. Manusia disadarkan dulu tentang bahaya, baru kemudian ditunjukkan jalan keluarnya. Pola tadarruj semacam ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tak hanya mengkritik, tapi juga selalu menawarkan solusi.
Bagaimana Para Mufassir Menafsirkannya?
Kata “سَارِعُوا” atau “bersegeralah” dalam ayat ini menarik. Akar katanya bermakna cepat, bergegas, bahkan berlomba. Bukan sekadar ajakan santai, tapi ini perintah yang mengandung tuntutan. Isyaratnya jelas: perjalanan spiritual seorang muslim harus aktif, progresif, penuh semangat berlomba.
Beberapa nama besar tafsir memberikan penjelasan yang beragam.
Pertama, al-Ṭabarī. Baginya, ini perintah tegas untuk segera bertaubat dan taat sebelum segalanya terlambat. Sebelum ajal datang, atau sebelum hidup dipenuhi kesempitan yang menghalangi kita berbuat baik. Kata “maghfirah” atau ampunan di sini mencakup dua hal: penghapusan dosa dan perlindungan dari akibat buruknya.
Yang menarik, al-Ṭabarī melihat perintah “bersegera” ini sebagai bentuk dorongan agar kita tak menunda-nunda. Menunda taubat sama saja memperlebar jarak dengan rahmat Allah.
Kedua, Ibn Kathīr. Ia lebih menekankan sisi motivasi dan imbalan. Janji surga yang “seluas langit dan bumi” itu, baginya, adalah hiperbola positif. Sebuah gambaran untuk menunjukkan betapa tak terbatasnya nikmat Allah, melampaui bayangan manusia.
Ia juga mengaitkannya dengan etos berlomba dalam kebaikan, seperti dalam ayat lain. Setelah ancaman, Allah beri harapan. Itulah targhīb yang mesti disambut dengan amal nyata.
Lalu, Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Pendekatannya filosofis. Ia menyoroti urutan penyebutan: ampunan dulu, baru surga. Itu isyarat bahwa ampunan adalah pintu gerbangnya. Tanpa ampunan Ilahi, mustahil amal manusia sanggup membayar tiket masuk surga.
Artikel Terkait
Suharti Buka Suara: Data Pendidikan Masih Banyak PR Meski 71,9% Dinilai Baik
Di Balik Duka Sumatera, Solidaritas Ternyata Menyembuhkan Jiwa Penolong
Bandara Sam Ratulangi Siap Hadapi Gelombang Mudik Nataru
Gus Yaqut Kembali Diperiksa KPK, Jejak Uang Kuota Haji Diperdalam