Delapan Hari Menembus Neraka Banjir Aceh: Kisah Heru yang Pulang dengan Luka dan Syukur

- Senin, 15 Desember 2025 | 11:48 WIB
Delapan Hari Menembus Neraka Banjir Aceh: Kisah Heru yang Pulang dengan Luka dan Syukur

Begitu keluar dari area markas, kenyataan pahit langsung menyambut. Permukiman warga lenyap. Jalan dan jembatan putus. Batu-batu besar dan batang pohon berserakan di mana-mana, tertutup lumpur tebal. Barulah mereka sadar, bencana yang terjadi jauh melampaui imajinasi mereka.

Delapan Hari di Tengah Kehancuran

Tanpa peta dan arah yang pasti, mereka berjalan menuruni hutan. Harapannya cuma satu: menemukan kampung yang masih utuh. Yang mereka temui justru pemandangan pilu kampung-kampung kosong yang rata dengan tanah, kendaraan yang tersangkut di dahan pohon.

“Semakin ke bawah, kondisinya makin parah. Makin rata,” ujar Heru.

Untuk bertahan, mereka memakan apa saja yang bisa ditemukan. Bahkan minum dari genangan air berlumpur. Pada hari ketiga, keputusasaan hampir melanda. Longsor susulan terjadi, mengurung mereka. “Belakang longsor, depan jurang juga longsor, samping pohon besar roboh. Kami sempat pasrah, cuma bisa pegangan tangan,” ceritanya. Beruntung, mereka selamat dan memutuskan terus berjalan.

Jalan Pulang yang Berliku

Secercah harapan muncul saat menemukan kampung dengan warga yang masih bertahan. Di sana, untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, mereka kembali makan nasi. Perjalanan kaki delapan hari itu akhirnya berujung di Takengon, kota yang lumpuh tapi masih ada aktivitas.

Dari Takengon, perjalanan berlanjut ke posko dekat Bandara Rembele. Di situlah bantuan mulai terorganisir. Melalui Tagana Jawa Barat, koordinasi untuk pulang mulai terbentuk. Mereka dipindahkan ke Lhokseumawe.

“Di sana saya pertama kali tidur di kasur, makan teratur tiga kali sehari,” kata Heru, mengingat momen kecil yang terasa sangat berharga.

Delapan dari dua belas orang bisa pulang lebih dulu. Heru dan tiga temannya tertahan karena urusan biaya. Bantuan tak terduga akhirnya datang dari seorang anggota DPRD Jabar yang menghubunginya. “Waktu itu tiba-tiba ada yang telepon ngasih bantuan, dari situ saya akhirnya bisa pulang.”

Heru tiba di Jakarta pada Jumat, 12 Desember 2025, lalu langsung melanjutkan perjalanan ke Indramayu. Setelah semua yang ia lewati ketakutan, kelaparan, dan ancaman maut kini hanya ada satu perasaan yang tersisa.

“Alhamdulillah, saya bisa pulang,” tutupnya pelan. Kata-kata sederhana yang punya seribu makna.


Halaman:

Komentar