Surat itu sudah dikirim, tegasnya. Menurut MTA, meminta keterlibatan lembaga resmi PBB yang sudah ada di Indonesia adalah sebuah kebutuhan mendesak untuk proses pemulihan.
Memang, kerusakan yang ditimbulkan bencana ini tidak main-main. Eskalasi kerusakan infrastruktur di 18 kabupaten dan kota terbilang luas. Ratusan nyawa melayang, dan hingga pekan ketiga, masih ada warga yang dinyatakan hilang. Situasinya benar-benar memprihatinkan.
Di sisi lain, gelombang solidaritas juga mengalir deras. Pemerintah mencatat, setidaknya sudah ada 77 lembaga bersama 1.960 relawan yang turun tangan. Mereka berasal dari beragam latar mulai dari NGO lokal, nasional, hingga internasional.
Beberapa nama yang tercatat di meja relawan BNPB untuk Aceh antara lain Save The Children, Islamic Relief, Baznas, Relawan Nusantara, Yayasan Geutanyoe, dan masih banyak lagi. Daftarnya panjang.
“Kemungkinan besar, jumlah lembaga dan relawan ini akan terus bertambah seiring waktu,” kata Muhammad MTA.
Nah, langkah ini jelas bukan sekadar formalitas. Ini adalah tindakan nyata di lapangan, mencerminkan karakter yang selama ini mungkin tersembunyi di balik kesan kalem. Aceh bergerak, dan mereka melakukannya dengan caranya sendiri.
Artikel Terkait
Danantara Garap Hotel dan Lahan Strategis di Dekat Masjidil Haram
Sidang Perdana Nadiem Cs: Kasus Chromebook Rp2,1 Triliun Dibuka
Ijazah Asli Jokowi Akhirnya Dipertontonkan di Ruang Penyidik
Yaman: Medan Duel Saudi-Iran yang Tak Kunjung Padam