Gen Z, Algoritma, dan Jerat yang Tak Kasat Mata
Hidup generasi muda sekarang, terutama Gen Z, serasa sesak. Ruang untuk bernapas hampir tak ada. Setiap hari, di layar ponsel yang selalu menyala, mereka disergap oleh dua hal: pinjaman online dan judi online. Iklannya muncul terus-menerus, bak iklan mi instan di televisi jaman dulu. Algoritma yang seharusnya memudahkan, justru berubah jadi predator. Ia tahu persis titik lemah kita.
Tekanan ekonomi, gaya hidup yang serba wah, dan keinginan untuk dapat segalanya dengan instan, mendorong mereka mencari jalan pintas. Dana segar, dengan cepat. Akhirnya, halal atau haram pun jadi kabur. Tawaran menggiurkan dari pinjol dan judol pun terasa seperti solusi. Padahal, itu awal dari jebakan.
Menurut sejumlah saksi, fenomena ini bukan kebetulan belaka. Ada penelitian menarik dari Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
Angka itu berbicara keras. Gen Z perlahan didorong masuk ke jurang, tanpa mereka sadari betapa dalamnya. Ujung-ujungnya? Ketergantungan finansial, stres yang mencekik, bahkan tindakan nekat.
Kalau kita lihat lebih jeli, akar masalahnya bukan cuma di moral anak muda. Ada tekanan struktural dari sistem ekonomi yang berlaku. Pendapatan rakyat biasa tak pernah cukup mengejar harga kebutuhan pokok yang melambung. Lapangan kerja susah. Hidup makin terjepit. Di titik itu, pinjol dan judol muncul bagai dewa penolong. Melegakan sesaat, tapi menghancurkan untuk jangka panjang.
Di sisi lain, peran negara terasa kurang greget. Regulasinya ada, tapi implementasinya bolong-bolong. Peringatan dikeluarkan, tapi iklan judol tetap bebas berkeliaran di media sosial. Yang lebih parah, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita justru menormalisasi gaya hidup konsumtif. Segalanya diukur dari materi. Halal-haram jadi pertimbangan nomor sekian.
Lingkungan digital pun tak kalah kejam. Platform media besar punya logika tunggal: apa yang disukai pengguna, itulah yang diprioritaskan. Meski konten itu merusak. Algoritma tidak punya nurani. Ia hanya peduli pada durasi, klik, dan keuntungan. Inilah wajah kapitalisme digital yang sebenarnya. Kita bukan warga negara yang dilindungi, melainkan pasar yang dieksploitasi.
Lalu, apa jalan keluarnya? Jelas, generasi muda butuh sistem alternatif. Sistem yang menjamin kesejahteraan secara struktural, bukan sekadar janji. Bagi banyak pihak, sistem itu adalah Islam.
Artikel Terkait
Semangat Juang ke-80 TNI AD Bergema di Bumi Mimika
NTB Resmikan Pos Bantuan Hukum di Semua Desa dan Kelurahan
Gelar Perkara Kasus Ijazah Jokowi Digelar, Tersangka Berapi-api
Kemenkum Kalbar Tinjau Proses Legislasi, DPRD Sanggau Siapkan 8 Raperda