Di sisi lain, Arjana menilai keempat pejabat negara itu telah lalai. Presiden dinilai lamban mengambil keputusan penting. Menteri Kehutanan dianggap membiarkan penggundulan hutan. Sementara Menteri Keuangan dinilai kurang memberikan dukungan dana maksimal, dan Kepala BNPB dianggap tak melakukan koordinasi yang memadai untuk mendorong status darurat.
“Kelalaian kolektif ini berpotensi menambah korban jiwa dan kerugian material,” tulisnya dalam gugatan.
Dasar hukum yang ia gunakan pun beragam, mulai dari Pasal 26 dan 27 UUD 1945, UU Penanggulangan Bencana, hingga Perpres tentang koordinasi lembaga. Baginya, semua indikator sebuah bencana nasional mulai dari jumlah korban, kerusakan infrastruktur, hingga dampak ekonomi sudah terpenuhi. Jadi, apa lagi yang ditunggu?
Sebagai advokat sekaligus warga negara, ia merasa punya kewajiban untuk menegakkan keadilan. Melalui petitum gugatannya, ia meminta hakim memerintahkan Presiden menetapkan status Bencana Nasional, serta menghukum para tergugat membayar biaya perkara. Ia juga meminta putusan yang seadil-adilnya jika majelis punya pertimbangan hukum lain.
Pada akhirnya, gugatan ini lebih dari sekadar dokumen hukum. Ini adalah bentuk desakan dan peringatan keras agar pemerintah bergerak cepat ketika nyawa rakyat dipertaruhkan. Kini, bola ada di dua pihak: bagaimana pemerintah merespons, dan bagaimana PTUN Jakarta memandang urgensi serta legal standing gugatan warga negara yang satu ini.
Artikel Terkait
Gianyar Terendam, Hujan Deras Ubah Jalan Jadi Aliran Deras
Menkes Targetkan Seluruh Puskesmas di Wilayah Bencana Sumatera Beroperasi Pekan Depan
Damkar Bantu Turunkan Jenazah 130 Kg ke Liang Lahat dengan Teknik Vertical Rescue
Brian Yuliarto Usulkan Kampus Medis Baru untuk Atasi Kelangkaan Dokter