Data yang ia rujuk dari Kompas (12/12/2025) cukup mengerikan. Di Aceh, Sumut, dan Sumbar, hilangnya hutan dari 1990 hingga 2024 rata-rata mencapai 36.305 hektar per tahun. Kalau dihitung per hari, angkanya sekitar 99,5 hektar luasan yang fantastis untuk lenyap setiap 24 jam.
"Jadi, kerusakan ekosistem ini kan ulah sendiri," tegas Sutoyo. "Ulah penguasa kita yang tolol dan ugal-ugalan dalam mengelola keseimbangan alam."
Di sinilah, menurutnya, kualitas negara diuji. Mampukah kita menjadikan bencana ini sebagai pelajaran, sebagai titik balik kebijakan? Bukan sekadar rutinitas penanganan darurat yang selalu datang terlambat, setelah rumah-rumah musnah dan nyawa rakyat melayang.
Negara harus konsisten. Ketegasan jangan cuma jadi pidato omong kosong di podium, atau aksi saat sorotan kamera media sedang terang. Lalu hilang begitu perhatian publik meredup.
Pemerintah harus berhenti menebar janji dan pencitraan. Waktunya untuk perubahan nyata. Menjaga alam bukan pilihan, tapi keharusan mutlak sebagai penyangga hidup bangsa ini.
"Kalau pemerintah tetap bandel dan abai," Sutoyo memperingatkan, "bencana yang lebih besar pasti datang. Pulau-pulau bisa lenyap tenggelam. Bukan cuma Sumatera, tapi Indonesia bisa saja amblas ke dasar lautan."
Pada akhirnya, ia menyoroti pernyataan pemimpin Tiongkok, Xi Jinping.
"Komentar Xi Jinping itu benar," katanya. "Cina cuma mengangkut dan membeli hasil tambang dan kayu dari sini. Mereka tak punya maksud merusak alam Indonesia. Yang merusak, ya, pejabat dan penguasa Indonesia sendiri."
Artikel Terkait
Mahasiswa Terjerat Budaya Sibuk: Perlukah Kita Berhenti Mengejar Produktivitas Tanpa Henti?
Ngopi dan Gorengan Disorot, Denny Sindir Logika Deforestasi Hasan Nasbi
Video Asusila Viral Diklaim dari Pabrik Brebes, Perusahaan Bantah Tegas
UBL dan Mitra Rancang Aksi Nyata Atasi Banjir di Pesawahan