Korupsi Bukan Anak Kandung Pemilihan Langsung
Oleh: Radhar Tribaskoro
Setiap kali ada kasus korupsi besar dan di sini, rasanya ledakannya tak pernah habis kita langsung menuding satu hal: pemilihan langsung. Seolah-olah, begitu rakyat mulai memilih kepala daerah dan presiden sendiri, korupsi langsung merajalela. Dari anggapan ini, muncul berbagai usul. Kembalikan pilkada ke DPRD, misalnya. Atau serahkan lagi pemilihan presiden ke MPR. Bahkan ada yang bilang, lebih baik balik ke UUD 1945 sebelum diamandemen.
Tapi tunggu dulu. Menurut saya, diagnosis semacam itu terlalu dangkal. Ia mengabaikan kompleksitas penyakit yang sebenarnya.
Argumen yang paling sering kita dengar memang terdengar logis. Pemilihan langsung itu mahal, katanya. Calon mengeluarkan dana besar, lalu setelah menang, mereka “terpaksa” korupsi untuk balik modal. Namun, logika ini punya lubang besar. Ia berasumsi bahwa mahalnya biaya kampanye pasti berujung korupsi, seolah tidak ada faktor lain yang berperan.
Padahal, coba lihat sekeliling kita. Politik uang bukan cuma masalah Indonesia. Ia ada di India, AS, Brasil, bahkan Jepang yang kerap dianggap bersih. Ambil contoh Amerika. Kampanye di sana luar biasa mahal. Pada Pilpres 2020, total belanjanya tembus 14 miliar dolar AS. Tapi, hampir tak ada ahli yang lalu menyarankan agar pemilihan presiden langsung dihapuskan.
Di sisi lain, banyak negara dengan pemilihan langsung justru punya catatan bagus dalam hal pemberantasan korupsi. Denmark, Selandia Baru, Finlandia mereka tetap memilih pemimpin secara langsung, tapi korupsinya bisa dikendalikan. Artinya, pemilihan langsung bukanlah satu-satunya penentu. Ia cuma satu bagian dari sebuah sistem yang jauh lebih rumit.
Nah, di situlah kesalahan kita. Kita mengubah persoalan sistemik yang pelik menjadi sekadar perdebatan prosedur.
Memang, butuh uang untuk ikut pemilihan langsung. Tapi uang itu tidak serta-merta melahirkan korupsi. Korupsi baru muncul ketika tiga hal bertemu: biaya politik yang menggila, kekuasaan yang sangat besar, dan mekanisme kontrol yang lembek. Sayangnya, kita sering lupa poin ketiga. Kita sibuk mempersoalkan hak pilih rakyat, tapi malas memperbaiki pengawasan, transparansi dana kampanye, dan penegakan hukum.
Yang lucu, pemilihan tidak langsung pun bukan solusi ajaib. Ia cuma memindahkan lokasi transaksi. Dari publik ke kalangan elite. Dari tempat terbuka ke ruang tertutup. Ingat saja masa sebelum reformasi. Atau lihat pengalaman negara lain. Ketika keputusan ada di tangan segelintir orang, suap justru lebih mudah, lebih terfokus, dan lebih sulit dilacak.
Artikel Terkait
Warga Asing Tewas Terseret Arus Saat Nekat Terobos Banjir di Kuta Utara
Bank Kalbar Syariah Resmi Kukuhkan Cabang Penuh di Sintang
Cek 3 Miliar Palsu, Kakek Tahanan Gadaikan Mobil Sewaan untuk Pesta Nikah Mewah
Baju Bekas Laris Manis di Manado, Pedagang Sambut Geliat Natal