Kedaulatan Beradab: Saat Kekuasaan Tunduk pada Kemanusiaan

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 15:00 WIB
Kedaulatan Beradab: Saat Kekuasaan Tunduk pada Kemanusiaan

NgopiSore: Bangsa yang Luhur – Saat Kekuasaan Bertemu Kebijaksanaan

Jalan Luhur Menuju Demokrasi Sejati dan Kemajuan Bangsa

Kemajuan sebuah bangsa? Itu tak cuma soal ekonomi gemuk atau teknologi canggih. Sejarah punya cerita lain. Bangsa besar bukan yang paling keras teriakannya, atau yang paling kuat pukulannya. Tapi bangsa yang bisa mengelola kekuasaan dengan bijak. Di sinilah gagasan tentang kedaulatan yang beradab jadi penting ia jadi fondasi moral dan etis buat demokrasi yang sesungguhnya.

Selama ini, kedaulatan sering dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi yang mutlak. Melekat pada negara atau penguasa. Tapi pemahaman kaku seperti ini justru kerap melahirkan paradoks. Atas nama kedaulatan, kekerasan bisa dihalalkan. Demi stabilitas, kebebasan dibungkam. Dan untuk suara mayoritas, hak minoritas dikorbankan. Kalau sudah begini, kedaulatan kehilangan adabnya sama sekali.

Nah, kedaulatan yang beradab menawarkan koreksi. Ia bilang, kekuasaan tertinggi tak boleh lepas dari nilai-nilai kemanusiaan. Bukan cuma siapa yang pegang kendali, tapi bagaimana kendali itu dipakai. Untuk siapa, dan dengan batas-batas moral apa. Intinya, manusia dengan martabatnya harus jadi pusat dari segala kekuasaan.

"

Dalam pandangan yang lebih luhur, kedaulatan bukan hak absolut. Ia lebih mirip amanah. Amanah dari sejarah dan tentu saja, dari rakyat. Negara hadir untuk melayani, bukan menundukkan. Untuk melindungi, bukan menaklukkan.

Bangsa yang beradab paham betul. Kekuasaan itu punya kecenderungan alami untuk melampaui batas. Makanya, justru kesediaan untuk membatasi diri itulah tanda kedaulatan sejati. Pembatasan lewat hukum dan konstitusi bukan tanda lemah, lho. Itu justru bukti kedewasaan sebuah peradaban.

Di sisi lain, demokrasi pun jadi punya makna lebih dalam. Ia bukan cuma ritual pencoblosan lima tahun sekali. Demokrasi adalah laku hidup. Menghormati perbedaan, melindungi yang lemah, dan mau mendengar suara yang tak populer. Singkatnya, demokrasi sejati cuma bisa hidup dalam iklim kedaulatan yang beradab.

Demokrasi Tanpa Adab: Jalan Menuju Kekosongan Moral

Sejarah modern sudah memperlihatkan contohnya. Demokrasi bisa kehilangan jiwa. Saat suara mayoritas jadi pembenaran untuk menindas minoritas. Saat kebebasan bicara berubah jadi kebebasan menyebar kebencian. Atau ketika hukum tunduk pada kepentingan sesaat. Jadinya ya prosedur kosong, tanpa roh.

Alhasil, demokrasi yang tak beradab melahirkan politik yang gaduh tapi miskin kebijaksanaan. Partisipasi ada, tapi dangkal. Kebebasan ada, tapi tanpa tanggung jawab. Kedaulatan rakyat pun direduksi jadi sekumpulan angka statistik, bukan kehendak moral untuk kebaikan bersama.

Oleh sebab itu, kedaulatan yang beradab mensyaratkan etika publik yang kuat. Etika ini bukan dogma kaku yang memaksa seragam. Tapi lebih pada kesepakatan luhur: bahwa kebebasan harus beriringan dengan tanggung jawab, dan kekuasaan wajib dibatasi oleh martabat manusia.


Halaman:

Komentar