Dari Pesantren ke Kampus: Sebuah Perjalanan Mencari Arah di Tengah Godaan Dunia

- Rabu, 10 Desember 2025 | 18:25 WIB
Dari Pesantren ke Kampus: Sebuah Perjalanan Mencari Arah di Tengah Godaan Dunia

Tujuh tahun hidupku dihabiskan di pesantren. Semua serba teratur: bangun untuk tahajud, salat Subuh berjamaah, lalu mengikuti ta’lim pagi. Suasana hening, hanya terdengar lantunan doa dan halaman kitab yang dibalik. Malamnya, aku tertidur lelah setelah menghafal dan murojaah. Itu rutinitasku. Sederhana, tapi penuh makna.

Namun begitu, semua itu kini hanya tinggal kenangan. Saat lulus, sebenarnya aku ingin menetap di pondok. Ingin mengabdi pada kiai. Tapi keinginan orang tua berbeda. Mereka punya harapan lain: agar aku melanjutkan ke perguruan tinggi.

Awalnya, aku merasa siap. Bekal dari pesantren rasanya cukup kokoh untuk menghadapi dunia luar. Ternyata, aku keliru. Dunia kampus sama sekali berbeda dengan pesantren. Dan perlahan, aku mulai kehilangan arah.

Menjadi mahasiswa disebut-sebut sebagai fase mencari jati diri. Dulu, aku anggap itu cuma jargon motivasi biasa di acara orientasi. Tapi setelah menjalani beberapa semester, baru aku paham. Ini bukan cuma soal tugas, nilai bagus, atau makalah. Di sini ada perjalanan panjang yang berisi segalanya: pertemanan, kekecewaan, pengalaman pahit-manis, sampai pencapaian kecil yang justru paling berharga.

Awal-awal, rasa bebas itu begitu terasa. Tak ada bel tanda waktu salat. Tak ada ustaz yang menegur karena tidak mengaji. Tak ada pengurus yang marah jika hafalan tak lancar. Aku menikmatinya, mungkin tanpa sadar. Nongkrong dengan teman, diskusi santai di warung kopi, sibuk dengan tugas kuliah. Hidupku dipenuhi kegiatan duniawi.

Di semester awal, salat lima waktu masih tepat waktu. Tapi lama-lama, mulai molor. Sibuk ngerjakan tugas, main game, atau sekadar ngobrol, jadi alasan. Sekali dua kali telat, lalu berubah jadi sering. Kadang, satu waktu salat terlewat sama sekali.

Kitab kuning yang dulu selalu kubawa, kini digantikan laptop berisi file tugas. Malam yang dulu kuhabiskan untuk tahajud, kini berganti dengan tidur lelah atau scroll media sosial tanpa ujung.

Hari-hari berlalu sibuk, tapi rasa tenang justru menghilang. Pernah suatu malam, aku duduk sendiri di teras. Cahaya bulan menyinari. Di situ, aku merenung. Bertanya pada diri sendiri, "Diriku yang dulu ada di mana? Apa yang sebenarnya kulakukan? Jangan-jangan, aku salah jalan?" Pertanyaan itu berputar-putar di kepala, tak menemukan jawaban.

Aku teringat sebuah perkataan, "ilmu tanpa iman itu bagaikan cahaya tanpa arah." Dan saat itu, aku sadar. Arahku sudah kabur. Iman yang dulu menyala, kini meredup di tengah kesibukan kampus.


Halaman:

Komentar