Dari Pesantren ke Kampus: Sebuah Perjalanan Mencari Arah di Tengah Godaan Dunia

- Rabu, 10 Desember 2025 | 18:25 WIB
Dari Pesantren ke Kampus: Sebuah Perjalanan Mencari Arah di Tengah Godaan Dunia

Semakin jauh aku melangkah, semakin banyak warna kehidupan yang kulihat. Dari kesalahan kecil, sampai yang besar.

Dulu di pesantren, kesalahan terbesar mungkin cuma bawa HP sembunyi-sembunyi, bolos taklim, atau iseng menggembosi ban motor ustaz. Kalau ketahuan, rasanya malu sekali. Bisa-bisa nama dipajang di papan pengumuman. Tapi di kampus, semuanya berbeda. Bahkan, ada yang seolah berlomba melakukan hal yang salah. Minum-minuman keras di tempat umum, pamer hal negatif di media sosial, lalu mengajak yang lain ikut-ikutan. Mereka tak malu. Malah, terlihat bangga.

Aku sendiri nyaris terjerumus. Sampai suatu kali, aku diajak ke sebuah ruangan. Lampunya berkedip-kedip. Di atas meja, berjejer minuman keras. Sebelum tangan ini menyentuh gelas apa pun, aku langsung tersadar. Aku buru-buru ke kamar mandi, berwudhu, dan bertawasul memohon kekuatan pada guru-guruku di pesantren.

Dalam hati, aku berbisik, "Ya Allah, apa yang kulakukan ini? Terlalu jauh aku mengenal dunia. Ini bukan yang kuinginkan."

Rasa syukur itu menyelamatkanku. Tuhan mengingatkanku akan rasa takut takut terjatuh ke jalan yang salah.

Adakalanya, aku ingin kembali saja ke masa lalu. Ke pesantren, di mana teguran dan nasihat selalu ada. Setidaknya, di sana aku takkan sampai nyaris terjerumus seperti ini.

Memang, di zaman sekarang, pondok pesantren tetaplah tempat terbaik untuk menjaga diri. Kampus sendiri sebenarnya tidak buruk. Semua kembali pada pilihan kita masing-masing. Sebagai santri, kita membawa nama baik pondok dan guru. Jangan sampai perbuatan kita mencorengnya.

Guruku pernah mengajarkan satu pedoman: "مازلت طالبا" "selamanya aku adalah santri." Tak ada istilah mantan santri. Prinsip itulah yang kini coba kugenggam kembali.

Achmad Musyafiq, Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.


Halaman:

Komentar