Jujur, saat itu rasa takut sempat menyergap. Tapi ketakutan itu hilang ketika melihat sikap mereka yang justru ingin menolong.
“Kalau nggak baik, kan bisa saja kami dijerumuskan. Tapi ternyata mereka membantu, sampai carikan boat untuk evakuasi,” ucapnya.
Mengungsi di Kegelapan
Usaha evakuasi tak mulus. Mereka sempat ditolak mengungsi di sebuah kafe berlantai empat. Akhirnya, sebuah bank membuka pintunya.
“Kami mengungsi di kantor BSI. Lantai satu airnya sepaha. Gelap gulita, nggak ada listrik,” jelas Kisty.
Di sana, mereka dapat sedikit air mineral dan mi instan. Tapi persediaan terbatas.
“Satu bungkus mi mentah kami remas, kasih bumbu, lalu bagi empat. Itu saja,” ungkap hakim berkacamata itu.
Mereka bertahan di sana tiga hari dua malam. Suasana mencekam ketika air hampir mencapai lantai dua, membuat puluhan pengungsi panik.
Perjalanan Pulang dengan Sampan
Hari Sabtu, air mulai surut. Kisty dan kawan-kawan pindah ke pengadilan, lalu ke rumah seorang pegawai. Mereka dapat kabar ada jalan ke Medan via Salahaji.
“Hari Senin, kami dijemput truk sawit bak terbuka. Perjalanan ke Salahaji sekitar satu setengah jam,” kenangnya.
Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan kapal kayu milik nelayan.
Dua jam lebih mereka mengarungi sungai dengan sampan tradisional itu. Akhirnya, tiba juga di Pangkalan Susu, Langkat.
“Begau ada sinyal, saya langsung hubungi keluarga pakai HP teman yang baterainya masih sisa. Minta dijemput, lalu pulang ke Medan,” tutur Kisty.
Dari pengalaman pahit ini, ada satu pelajaran berharga yang ia petik. “Intinya saling berbagi dan melindungi. Tolong-menolong bisa datang dari siapa saja, bahkan dari tempat yang tak pernah kita duga.”
Artikel Terkait
Dari Blandin Kakayo ke Mabes Polri: Perjuangan Vincen Kwipalo untuk Tanah Leluhur
Korban Kebakaran Terra Drone Resmi Teridentifikasi, 22 Nyawa Melayang
Vonisme Berat: Nikita Mirzani Dihukum 6 Tahun Penjara Usai Banding
Lampung Siaga, Pembukaan Lahan Baru Ancam Hutan Lindung