Di era media sosial yang serba cepat, reputasi adalah aset berharga. Mungkin lebih berharga dari yang kita sadari. Bukan cuma soal apa yang kita lakukan, tapi bagaimana orang lain memandangnya. Setiap unggahan foto, video, atau sekadar pendapat pendek, perlahan-lahan membentuk gambaran tentang siapa kita di mata orang lain. Nah, di sinilah masalahnya. Ketika penampilan di media sosial lebih mengutamakan sensasi dan perhatian instan, nilai-nilai yang ingin dibangun justru bisa tenggelam.
Memang, media sosial memberi ruang luas untuk berekspresi. Tapi ruang ini ibarat pisau bermata dua. Identitas seseorang bisa dipoles, dibesar-besarkan, atau malah diputarbalikkan. Banyak orang tampil di dunia maya karena ingin dikenal dan diapresiasi. Itu wajar. Namun, pola perilaku yang terkesan "cari muka" atau haus sensasi sering kali berakibat buruk. Efek baliknya bisa merusak reputasi jangka panjang.
Menurut sejumlah pengamat, reputasi itu dibangun perlahan. Butuh konsistensi dalam perilaku dan nilai yang ditunjukkan.
Inilah tantangan terbesarnya: kesan versus kenyataan. Konten yang dibuat untuk reaksi cepat sering mengorbankan integritas jangka panjang. Ambil contoh unggahan yang menonjolkan konflik atau drama pribadi. Mungkin menarik perhatian saat itu juga, tapi meninggalkan jejak digital yang negatif. Kalau pola ini berulang, orang mulai bertanya: ini cerminan diri yang sebenarnya, atau cuma topeng digital untuk dapat simpati?
Lambat laun, audiens bisa merasa ini tidak otentik lagi. Mereka menilai si pembuat konten terlalu fokus pada pencitraan, mengabaikan kedalaman. Akibatnya? Rasa hormat dan kepercayaan bisa terkikis. Bahkan menimbulkan kelelahan bagi yang melihatnya. Reputasi bukan cuma soal dipandang baik, lho. Lebih dari itu, ia soal dipercaya. Dan kepercayaan tak mungkin dibangun lewat sensasi sesaat.
Di sisi lain, jangan salah. Media sosial bisa jadi alat ampuh untuk membangun reputasi, asal digunakan dengan bijak. Tampil tak harus dramatis. Seseorang bisa menampilkan kehidupan, kreativitas, atau pemikirannya dengan cara yang elegan dan bernilai. Konten yang informatif dan konsisten justru memperkuat citra diri. Manfaatnya bisa dirasakan oleh pemilik akun dan juga orang-orang yang melihatnya.
Artikel Terkait
Vape Berisi Obat Bius Senilai Rp 17 Miliar Digerebek Polisi di Medan
Usia 16 Tahun Jadi Batas Buka Akun Media Sosial Berisiko Tinggi
Kasus Pemerkosaan Sopir Online Bongkar Rantai Pemasok Sabu
Ribuan Kayu Bersertifikat Terdampar di Lampung, Kemenhut Bantah Kaitannya dengan Banjir